Tuesday, October 4, 2016

[STORY] Anna

......
................
...........................
..........................................


Faris mengetuk pintu kamar adiknya. Tidak ada jawaban. Maka pilihannya hanya dua, Anna masih bangun sambil mengenakan headset ditelinganya, atau Anna sudah tidur. Perbandingan probabilitasnya 30:70. Seingatnya Anna sedang tidak ada jadwal ujian, berarti kemungkinan besar adiknya itu sudah tidur.

Krek.
Dugaannya benar. Anna sudah tidur. Seakan sudah menjadi jadwal hariannya setiap pulang kantor di malam hari, ia menutup buku-buku yang masih terbuka, memungut stabilo dan pena warna-warni yang berserakan di lantai, mematikan laptop yang masih menyala, serta menutup kembali toples cemilan yang masih terbuka.

Faris sudah melakukan semuanya. Sekarang ia tinggal mematikan laptop. Tapi niatnya terundur. Ia duduk sebentar dan menatap layar laptop adiknya, menampilkan sebuah file microsoft word yang sepertinya belum di-save. Membacanya.


...............................................................................................................
...............................................................................................................


"Kamu lagi ngetik apa?"

Faris beralih dari pekerjaanya sesaat, menatap Anna yang sedang sibuk mengunyah kue kering dengan tatapan fokus ke layar laptop.

"Biasa, Mas. Tugas."

Faris menggumam mengiyakan. Di akhir minggu, ia kembali fokus ke pekerjaannya. Ia sedang mengejar target demi mendapat bonus besar di akhir tahun, untuk membayar biaya kuliah Anna semester depan.

"Gak lagi bikin pesan kematian, kan?"

Anna menoleh kearah mas-nya, mencibir. "Tuh kan. Udah pulang kerja malem-malem, bukannya istirahat tapi malah ngepoin ke kamar adiknya."

"Sekalian jadi babu buat beresin kamar!" Faris menambahkan.

"He-eh.." Anna menggaruk kepalanya, yang sama sekali tidak gatal. Faris hanya tersenyum kecut.

"Kamu aneh banget, dek, akhir-akhir ini."

Anna mengangguk-ngangguk. "Mas aneh sih, makanya aku juga ikutan aneh."

"Mas lagi serius, ih!" Faris beranjak dari meja kerjanya, beranjak ke sofa di ruang tengah, duduk disamping Anna.

Anna tidak menggubris. Faris melanjutkan. "Kamarmu masih berantakan seperti biasa. Kamu juga masih hobi makan sama ngemil. Kamu ga pernah mau ngasih makan si Lili karna takut kena catok, tapi entah kenapa akhir-akhir ini tiap malam pas Mas pergi ke kandangnya, makanannya udah ada, udah penuh."

"Yahh, Mas, orang kan bisa berubah kapan aja keleus. Anggap aja aku lagi dalam proses perbaikan diri karena sudah memasuki umur yang pantas untuk menikah."

Faris tertawa mencemeeh. "Setau Mas tanggung jawab istri yang paling utama itu bukan ngasi makan burung."

Anna hanya diam. Malas menanggapi.

"Mas udah baca." Faris mengambil sepotong kue kering yang dimakan Anna dari toples. 

Anna menjawab singkat. "Aku tau."

"Mas takut." Kali ini ia mengubah posisi duduknya. Sambil menatap adiknya lekat-lekat.

"Takut apa? Takut karna aku beneran mau mati? Atau takut kalo aku mati, Mas jadi tinggal sendiri? Atau takut karna nanti aku bakal gentayangan malam-malam?"

"Takut kehilangan kamu."

Anna terbahak seketika. Tanpa sadar ia menyenggol toples kue keringnya yang lupa ditutup. "Ih, Mas jangan ngomong gitu ah, aku geli."

"Mas takut kalo harus kehilangan satu-satunya anggota keluarga yang Mas punya."

Tawa Anna terhenti. Ia menatap Faris. Eskpresinya tidak dapat dijelaskan. "Terus Mas mau aku hidup selamanya?"

"Untuk saat ini Mas belum siap, dek." Faris masih menatap Anna, dalam.

Anna memperbaiki posisi duduknya. "Mas, sini deh." Anna menyuruh Faris mendekat sambil menggerakkan jari telunjuknya.

Faris patuh. Sesaat kemudian ia terkaget. Anna tiba-tiba mencium pipinya, kanan-kiri. Anna tersenyum jail. "Udah, ya. Mas cuma  lagi parno, lagi random, lagi kurang piknik. Aku gak kenapa-napa. Aku lagi ga ngasih pertanda-pertanda kematian. Sekarang Mas balik kanan, duduk lagi di meja sana, selesain kerjaannya. Supaya semester depan aku bisa tetap kuliah. Oke? Sekarang aku mau ke warung dulu, beli indomie. Ngeliat Mas kayak gini bikin aku mendadak lapar."

Anna beranjak dari tempat duduknya dan melenggang pergi. Faris termangu. Semakin takut dengan intuisinya sendiri. Sesaat sebelum menutup pintu, Anna berbalik menatap Faris.

"Tapi, bukannya Mas dulu pernah bilang, cara terbaik menyikapi kehilangan adalah dengan memahaminya dari sudut pandang mereka yang telah pergi?"


...............................................................................................................
...............................................................................................................


Faris mengetuk-ngetukkan jarinya di tiang halte sambil menengok jam tangannya sesekali. Hari ini ia pulang cepat dan ia berencana mengajak Anna makan di kedai mi Aceh kesukaan mereka. Masih lima belas menit lagi sebelum jadwal kelas terakhir usai. Karena bosan dan tidak tahu harus melakukan apa, ia membuka ponselnya. 

Tiba-tiba pikirannya melayang ke peristiwa dua bulan yang lalu. Saat ia mengira bahwa Anna akan segera 'pergi' meninggalkannya. Kali ini ia tersenyum lebar. Menertawai diri sendiri. Anna benar. Mungkin ia hanya terlalu parno. Mungkin pekerjaan yang semakin menggila membuatnya stres hingga berasumsi yang tidak-tidak. Setidaknya, untuk saat ini, Anna masih ada. Masih sehat. Dan ia masih akan merapikan kamar Anna setiap malam sepulang dari kantor.

Ponselnya tiba-tiba bergetar. Anna menelepon. Faris beranjak dari bangku halte sambil celingukan mencari sosok Anna diantara kerumunan mahasiswa yang berdiri di gerbang kampus. 'Itu dia!' batinnya senang. Faris melambai-lambaikan tangannya. Anna melihatnya Ia tersenyum lebar.

Faris memasukkan kembali ponselnya ke saku. Menunggu Anna menyeberang jalan. Sedetik kemudian ponselnya kembali bergetar. Ia baru saja akan meraih ponselnya ketika sebuah mobil yang melaju kencang tiba-tiba menabrak Anna, tepat didepan matanya.


...............................................................................................................
...............................................................................................................



Faris mengetuk pintu kamar adiknya. Tidak ada jawaban. Maka pilihannya hanya dua, Anna masih bangun sambil mengenakan headset ditelinganya, atau Anna sudah tidur. Perbandingan probabilitasnya 30:70. Seingatnya Anna sedang tidak ada jadwal ujian, berarti kemungkinan besar adiknya itu sudah tidur.

Faris masuk ke kamar Anna. Berharap menemukan Anna sudah tertidur pulas. Berharap merapikan buku-bukunya yang berserakan, memungut stabilo dan pena warna-warninya yang berjatuhan di lantai, mematikan laptopnya yang masih menyala.

Kamar itu rapi, tidak seperti biasanya. Anna tidak ada di meja belajarnya. Anna juga tidak ada ditempat tidurnya.

Anna tidak ada dikamarnya.

Faris beranjak keluar. Menutup pintu kamar tersebut dan menguncinya. Tidak seperti malam-malam sebelumnya, saat keluar dari kamar Anna, ia menghidupkan TV dan akhirnya tertidur pulas di sofa.

Kali ini ia menangis. Menghakimi 'doa' yang terlalu cepat dijabah.

Kali ini ia menangis. Teringat file microsoft word di laptop Anna yang sengaja dibacanya dua bulan yang lalu.

.....

"Ya Allah, semoga Mas Faris gak pulang malam-malam lagi.. gak tertidur di sofa lagi.. gak kelelahan lagi.. gak perlu repot-repot membayar uang kuliah Anna tiap semester lagi.. aamiin.."


This entry was posted in

0 comments:

Post a Comment