Wednesday, April 12, 2017

[STORY] Rasa



Suasana kala itu, terasa tepat bagi Rasa untuk kembali mengingat-ngingat.

Kala itu senja. Dari balik jendela, Rasa mengintip pemandangan matahari jingga dan langit merah muda, sedang bersiap untuk ditelan sekawanan air. Sewindu terakhir, lagu yang ia dengarkan selalu sama. Rasa menyunggingkan senyum tipis diantara kesemrawutan pikirannya.

"Kau boleh turun untuk makan malam. Aku sudah siap memasak." ujar Memori melalui celah pintu kamar Rasa yang terbuka.

Makan malam senja itu tidak ada yang berbeda. Atau begitulah yang ia kira. Ketika selang beberapa menit kemudian pintu rumah mereka diketuk dari luar. Memori beradu tatap dengan Rasa sepersekian detik, untuk kemudian berdiri dari tempat duduknya dan berjalan kearah pintu.

"Selamat sore. Perkenalkan, aku Tinta"

Senja menjelang malam itu, mereka mengajak Tinta untuk makan malam bersama. Sulit untuk mendeskripsikan situasinya. Sulit juga bagi Rasa untuk tidak mencuri-curi pandang kearah Tinta. Rasa tersenyum dan bercakap seperti biasanya. Namun sesuatu dalam dirinya seperti bereaksi. Jantungnya bedegup jumpalitan. Ia tidak pernah mengalami ini. Mungkin ia bisa bertanya alasannya pada Tinta.

"Mungkin kau sedang jatuh cinta."

Memori tergelak demi mendengarnya. Rasa tetap terdiam dengan air muka serius. Dari apa yang dilihatnya, bisa ia simpulkan Tinta hanya bergurau. Tidak apa-apa, pikirnya. Berarti jantungnya yang hiperaktif tiba-tiba ini bukan masalah serius.

Karena sepertinya masalah serius itu terletak pada pikiran Rasa. Ia merasa dunia berputar disekelilingnya, ketika akhirnya semua mendadak gelap.

"Sudah kubilang, jangan terlalu dipaksakan."

Teguran Memori terdengar sayup-sayup di telinga Rasa. Kepalanya seakan-akan bekerja dengan berat dalam tempo yang sangat cepat. Rasa tiba-tiba melihat sesuatu yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Peristiwa itu. Kejadian itu. Suasana itu. Itu bukan sesuatu yang menyakitkan dan juga bukan sesuatu yang membahagiakan. Tapi mungkin itu adalah sesuatu yang Rasa tidak ingin ingat. Kalau saja sewindu lalu Takdir tidak mengajaknya melihat matahari terbenam dan memperdengarkan lagu itu, sewindu ini tidak akan terasa semenyesakkan penjara. Sewindu ini Rasa akan menjalani kehidupan yang benar-benar baru. Semua ini benar-benar diakibatkan oleh ketidaksengajaan Takdir sewindu lalu.

Detik ini. Rasa kembali mengingat seluruhnya. Periode waktu yang ingin ia kubur dibalik tanah. Namun Sang Pencipta tidak pernah salah. Kabar baiknya, mengingatnya kembali tidak semengerikan yang Rasa duga.

Kini pandangannya beralih pada Tinta yang menatapnya dengan penuh kepanikan.

"Apa kau baik-baik saja?"

Rasa tidak melihat keberadaan Memori.

"Sepertinya ia sudah kembali ke tempat dimana seharusnya ia berada." ujar Tinta, seolah-olah menjawab pertanyaan dalam batin Rasa.

Sedetik kemudian, Rasa menceritakan seluruhnya pada Tinta. Tinta tersenyum di beberapa kesempatan. Di beberapa kesempatan yang lain ia hanya mengangguk, mendengarkan.

"Ini mungkin bukan hal yang baik, tapi aku ingin terus mengingatnya." Rasa menutup ceritanya.

"Mungkin aku bisa membantumu dalam hal itu." Tinta tersenyum. 




Kertas-kertas penuh tulisan malam itu, menjadi saksi ketulusan Tinta dalam membantu Rasa.

Malam selepas senja itu, Rasa dan Tinta saling jatuh cinta.
This entry was posted in