Monday, September 17, 2018

[DAILY LIFE] Just Please.. Be Nice



Life's already this hard. Don't you dare make it harder by your mouth!

Benar adanya bahwa judging sebesar biji zarrah pun yang terdengar di telinga atau telihat oleh mata itu efeknya bisa berhari-hari. Only God really knows how much it'll hurt us. Only God really knows how much it'll consumes our mind, unconsciously. Standar penerimaan setiap orang berbeda-beda. Ada yang di judge sedikit, dianya bodo amat. Ada yang paranoid, padahal ga ada yang nge-judge tapi dianya udah stres duluan. People's level of tolerance are absolutely and will always be different. So at this level, could you just please understand?

You know what's bitter? People's interruption.

They want us to live life according to the values they trust, to their standards of living. They told us that we shouldn't be living like this or that. Oh man.. could you just please stop? 

Everyone deals with a lot of things each day. Can you just please be a good companion for them? To concole everytime it gets hard?
If it bothers you so could you just.. sit still and be quiet?

To everyone's decision, good or bad, that's a lot for them to deal with. So can you just please.. respect it? 

Just mind your own business and just please be nice. That really means a lot.

Sunday, August 12, 2018

[DAILY LIFE] Our Own Path



Untuk yang sebentar lagi akan beranjak keluar dari zona nyaman.

---------------------------------------------------------------------------------------

Oke. Disini kita akan belajar mengurus hidup sendiri-sendiri.

Ini tidak akan mudah. Kamu tidak bisa mundur karena ini sudah jatahmu. Kamu sudah mengantri secara tidak sadar. Kamu sudah tiba di masanya. Tidak ada jalan lain.

Ini tidak akan mudah. Kamu harus menutup mata dan menjadi budeg secara selektif. Kamu harus belajar memilih mana yang harus dilihat dan harus didengar. Kamu juga belajar berjalan di shirattal mustaqim-mu sendiri, dimana yang membuatmu teguh atas perjalanan itu hanyalah Tuhan dan dirimu sendiri. Tidak ada yang akan memegangi karena setiap orang cemas dengan perjalanannya masing-masing.

Keluar dari zona nyaman tidak akan pernah mudah. Semua akan terasa serba sulit mulai saat ini dan intensitasnya akan terus meningkat. Kamu dituntut untuk menyesuaikan. Untuk beradaptasi. Kalau tidak, kamu akan berakhir meloncat dari atap gedung itu.

Urusan hidupmu, terimalah saran-saran yang baik dari orang-orang terdekatmu, namun tolong pastikan bahwa keputusan-keputusan besar itu tercipta setelah percakapanmu dengan Tuhan diatas sajadah. Setelah doa-doa panjang yang kamu lirihkan disetiap malam. 

Tuntutan sosial itu mengerikan. Jika kamu adalah seorang sarjana dari suatu universitas ternama, maka sosial menuntutmu agar kamu bekerja dan mendapatkan upah yang sesuai menurut takaran mereka. Jika kamu seorang dokter, maka sosial menuntutmu untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, menjadi spesialis ternama, tanpa peduli anakmu dirumah tidak ada yang mengurusi. Jika pekerjaanmu di mata sosial bukanlah sesuatu yang menghujankan uang sekian karung, namun dilihatnya rumahmu bak istana, maka sosial akan menghujammu "pasti korupsi!" tanpa peduli bahwa kamu punya bisnis halal yang kamu usahakan diam-diam. Jika kamu adalah seorang wanita berusia kisaran 25-27 tahun, maka kamu akan dihujat pertanyaan "kenapa belum menikah?".  Jika kamu telah menikah lebih dari setahun dan belum memiliki keturunan, maka sosial akan menghujammu pertanyaan "kenapa belum ngisi?"

Sosial tidak akan peduli apa dampak dari pertanyaan yang mereka utarakan.

Tuntutan sosial itu mematikan. Oleh karenanya, dilarang menjalani hidup demi memuaskan sosial. Tuntutan mereka tidak punya batas. Mulut-mulutnya tidak bisa disumpal, mata-matanya tidak bisa ditutup, kaki-kakinya tidak bisa dijerat dari mendoktrinisasi manusia atas segala peraturan yang mereka buat-buat sendiri. 

Permasalahanmu akan bertambah variasinya. Tak lagi sekedar uang jajan habis, melainkan bagaimana cara menghasilkan uang dengan cara yang diridhoi-Nya. Tak lagi sekedar ketakutan menghadapi dosen killer, melainkan menghadapi atasan jahannam yang bisa memecatmu kapan saja.

Mulai titik ini, kesulitan akan semakin meningkat intensitasnya. Kamu harus kuat.

Dan jangan lupa, dekati Tuhan.

[SELF HELP] 22 MILLION IN 6 MONTHS!!



Complete series of Self Helps :
7. [SELF HELP] 22 MILLION IN 6 MONTHS!!

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Postingan ini bermula dari 'kejadian' pada tanggal 14 Juli 2018. Di suatu weekend yang cerah, dimana w iseng-iseng mengutak-atik aplikasi Money Manager di HP. Ngeliat pengeluaran bulan ini udah berapa dan masih cukup berbangga karena angkanya tidak sefantastis bulan sebelumnya. Tapi semua menjadi mengerikan ketika w melihat total pengeluaran tahunan. Dimana terhitung tanggal 1 Januari hingga 14 Juli 2018, I've spent a fcking 22 MILLION RUPIAHS.

Rp. 22.000.000 (dengan pembulatan). Sudah termasuk tiket pesawat PP Jakarta-Padang 2x. Sudah termasuk hedon beli buku di BBW. Sudah termasuk segala-galanya KECUALI UKT BUAT BAYAR KOAS PER SEMESTER yang angkanya sebaiknya tidak usah disebut. 

Memang setiap bulan angkanya beda-beda. Tapi kalo dihitung sama rata perbulan, berarti w sudah menghabiskan rata-rata 3 juta sekian perbulan.

ITU SETARA GAJI ISHIP. ALAMAK.

Dan untuk seorang anak manusia berusia 23 tahun, I think thats kinda abnormal. That's horrible.

Oke. Setiap orang punya baseline masing-masing. Setiap orang punya basic ekonomi yang berbeda. Mungkin 22 juta dalam 6,5 bulan buat some people out there adalah angka yang biasa aja atau bahkan so sedikit, mungkin skincare harian mereka aja sekelas SK-II yang harganya jutaan. Mungkin. But as for me, yang biasa-biasa aja. Yang gak setajir bule-bule arab, yang masi liat-liat harga menu makanan kalo lagi pergi hangout, yang masi kesel dengan harga Iced Tea yang 10.000 meanwhile jika namanya Teh Es harganya 3.000, yang satu-satunya skincare mehong yang dipunya adalah Bioderma Micellar Water 500ml seharga 341.000 yang dihemat makenya sampe 6 bulan,

...it matters. Really.

W udah 23 tahun dan perempuan dan anak pertama. Gimana cara w ngurusin perkara rumah tangga kalo pengeluaran buat w sendiri aja udah setidak terkontrol ini? Oke. Kejauhan mikirnya. Ntar kalo w iship dengan gaji 3jt an perbulan, dan langsung habis di setiap akhir bulannya, ntar modal dikehidupan selanjutnya mau minta darimana? Orang tua? Shame on me. Mungkin mereka bakal ngasih. Tapi dimana letak otak w? Di anus? 

Akhirnya w mulai berpikir panjang. Lebih panjang dari jalan Anyer-Panarukan. Ternyata ada banyak sekali hal dasar yang terkait dari sekedar mengatur keuangan.

It trains us to be more aware.

Belajar puasa duit.
Belajar teguh sama prinsip diri sendiri, ga ikut-ikutan orang.
Belajar menentukan skala prioritas, memilah mana yang urgent, mana yang not so urgent, dan mana yang ga penting sama sekali.
Belajar menjadi orang yang tidak impulsif.
Belajar menahan nafsu, ga semuanya harus diturutin.
Belajar nahan nafsu abis ngeliat beauty vlogger nge-review sebuah produk skincare muahal yang bikin muka licin kek lantai abis dipel, padahal skincare belasan ribu yang lo punya udah cukup bikin muka lo mulus kek pantat bayi.
Belajar nahan lapar ngeliat orang sebelah mesan buffet yang sekali makan ngabisin duit 260k meanwhile kita cuma mesen pecel lele 20ribuan.
Belajar menghilangkan stigma "ah kan sekali-kali." Iya, sekali-kali kalo dikerjain tiap hari jadinya berkali-kali. Beras sebiji kalo ditumpuk jadi sekarung. Berat.

Dan yang paling penting dan esensial lagi adalah belajar ikhlas untuk bersedekah ga pakai recehan. Ga usah pake standar tinggi-tinggi, gausah langsung nyoba sedekah 50ribu tapi abis itu nyesel dalam hati. Belajar ikhlas bersedekah dengan selembar duit 5ribu/10ribu tanpa mengambil kembalian sepeserpun aja kayaknya udah luar biasa.

Atau belajar membeli jajanan dari pedagang kecil yang sebenernya kita ga butuh, dari nenek-nenek renta yang udah bungkuk yang masih keliling kompleks jualan keripik cabe, demi tidak mengemis.

Ketika infaq/sedekah yang lo keluarkan ga sampe 1% total pengeluaran lo, ntar diakhirat ditanya Tuhan, mau jawab apa?

Thursday, July 19, 2018

[SKIP] What Happened in 2018?!

Oke. Sekali lagi Ive told you because this is my own blog jadi boleh lah ya nulis hal yang personal lagi.

*padahalgakadayanglarang



Baik. Welcome to postingan 'SKIP' yang kedua! Sebenernya udah gasabar pengen nulis ginian dari kemaren kemaren kemaren dan kemarennya lagi. Tapi apa daya niatnya baru terealisasikan sekarang.

Baiklah. Sebenarnya yang terjadi di tahun 2018 standar sih. Ngo-ass. Nge-ko-ass. Serta living life sebagai anak perempuan berusia 22 menjelang 23 tahun. (*plis jgn protes dengan kata "anak")

Gak. Gak jadi.

2018 adalah tahun yang sama sekali tidak standar. Eak.

Sebenernya pengen bikin pake poin-poin seperti di postingan pertama 'SKIP' sebelumnya. Tapi karena dikhawatirkan hal tersebut akan menonjolkan sesuatu yang belum lumrah ditonjolkan (*apaan sih), lemme write in paragraphs saja.

_____________________


Baiklah. Tahun 2018 dibuka dengan w menjalani siklus Forensik. Siklus yang pelajarannya masyaAllah hafalan semua. Ya gak semua sih, mostly lah, 98% lah. Tapi untuk otak-otak kriminal fanatik sherlock holmes macam w ya w suka meskipun daily lifenya bisa dibilang agak gabu***t (maaf ga pandai sensor).

Disinilah w merasakan suatu ketidakbersyukuran yang tersembunyi. Jadi sebut saja salah satu aktivitas yang kamu lakukan sebagai dokter muda Forensik adalah PL alias Pemeriksaan Luar. Kapan kamu nge-PL? Ketika ada jenazah. Bisa dalam bentuk pasien KLL yang masuk ke IGD dan meninggal setelah berbagai usaha yang dilakukan, atau bisa dalam bentuk jenazah yang dihantarkan ke IGD alias Death on Arrival (DOA).

Ketika salah satu atau kedua hal ini terjadi, maka dokter muda a.k.a koas forensik yang sedang jaga waktu itu akan sibuk menelpon seluruh armadanya untuk datang ke RS, untuk melakukan PL pada jenazah tersebut. Nah. Lalu dimana letak 'occult ungrateful'nya?

Yak. Itu berarti para koas forensik ini harus siap siaga dan standby dengan hp nya 24 jam. Harus mengeraskan volume notifikasi di gadget masing-masing. Nah kalo panggilan PL nya datang di jam-jam yang tidak kooperatif, pasti bakal mbulet toh? Bakal menggerutu. Lagi asik-asiknya nonton bareng doi, eh malah ditelpon disuruh ke RS a.f.s.a.p (as.fcking.soon.as.possible).

Padahal kamu itu mau periksa jenazah loh. Jenazah itu manusia yang meninggal loh. Manusia yang meninggal itu adalah keluarga dari seseorang loh. Ada anak yang baru saja yatim setelah kehilangan ayah loh. Tapi ya sudut pandang yang seperti itu hampir tidak pernah terpikirkan oleh benak seorang koas forensik (termasuk w dulu) yang tersintak dari tidurnya jam 3 dini hari due to hp yang berbunyi keras et causa ditelpon et causa ada PL.

Alamak.

Oke. Selanjutnya. Habis Forensik, datanglah Mata. Siklus yang kata orang 'liburan', tapi tidak bagi w. Et causa dapat preseptor maha sempurna, yakni dr. Getry Sukmawati, Sp.M(K). Jadilah kita menjalani 4,5 minggu dengan didominasi oleh pulang jam 11 malam karna ngerjain ilmiah alias makalah presentasi, membaca 11 jilid buku besar tentang penyakit mata (11 JILID BUKU GEDE ISINYA TENTANG MATA DOANG, MATA YG SEKECIL DAN SENYIMUT ITU), dan hal-hal yang sangat menunjang kepintaran lainnya. Alhamdulillah. Ini adalah siklus paling happy ending sejauh ini.

Then... welcome Interne alias Penyakit Dalam. Ah untuk yang satu ini w dah meleber panjang lebar di postingan sebelumnya. Silakan di scroll dan dibaca ya.

Dan now, disaat w sedang menulis postingan ini,  w sedang berstatus sebagai koas di bagian Radiologi. Siklus dimana w berada dalam hypersomnia-state yang cukup parah et causa keseringan dinas malam pas di Interne wkwk.

_____________________


Yasudah. Cukup segitu dulu. See you di postingan 'SKIP' berikutnya yang maybe release di akhir tahun ini atau diawal tahun depan!

This entry was posted in

Saturday, July 7, 2018

[DAILY LIFE] The Altruists


Sebutkan salah satu jenis kebaikan yang sudah ada dari zaman dulu dan masih bertahan sampai detik ini?

Pengorbanan.

Untuk orang lain. Atau makhluk lain.

Say Alhamdulillah to Him for making this temporary world tidak hanya berisi orang-orang jahat namun juga orang-orang baik yang senantiasa memberikan kebaikannya pada orang lain. We call them the 'altruists', yang menempatkan kepentingan orang lain diatas kepentingannya sendiri. Yang menekan egonya sendiri demi ego orang lain.

Dahulu sekali, ada Khadijah RA yang merelakan hartanya demi dakwah Rasulullah. Ada Bilal bin Rabbah yang rela dihimpit batu besar demi mengumandangkan azan dan mempertahankan keyakinannya. 

Setiap hari Senin di seluruh Indonesia, selalu ada upacara bendera. Hampir selalu ada yang mengeluh panas, haus, berkeringat, padahal dia tidak melakukan kegiatan apapun selain berdiri. Berdiri ditengah lapangan itu tidak mengancam nyawanya. Tapi dia tetap saja mengeluh. Padahal sekian tahun silam, demi berkibarnya sang merah putih itu, sudah berapa liter darah yang tumpah?

Setiap hari di seluruh pelosok dunia, selalu ada wanita yang melahirkan. Ada yang diberi rezeki oleh-Nya proses melahirkan yang normal. Ada yang harus merasakan perihnya pisau operasi. Apapun prosesnya, keduanya meminta tebusan yang besar. Keduanya mengemis nyawa. Dan si anak kemudian akan terus mengeluh sampai dia sendiri yang merasakan sakitnya melahirkan.

Setiap malam di bangsal-bangsal rumah sakit, ada yang tiap sebentar memeriksa tekanan darah, ada yang bersedia duduk standby di konter menunggu keluhan keluarga pasien. Suatu hari di hari raya Idul Fitri, di sebuah bangunan kecil berukuran 1,5x1,5 m ada seorang bapak yang standby menaik-turunkan palang tanda kereta akan lewat. Suatu hari di hari raya Idul Fitri, ada orang-orang yang bekerja semakin keras di tempat-tempat wisata, meninggalkan anak-anaknya yang juga merengek minta pergi liburan.

Orang-orang seperti itu, terlepas dari ikhlas seutuhnya atau tidak, Alhamdulillah masih ada. Dan akan selalu ada.


[DAILY LIFE] Generasi 'Golput'



"Mau makan dimana?"
"Terserah."
"Aku ngikut aja."
"Apapun lah, yang penting makan."

"Weekend ini mau jalan kemana?"
"Terserah."
"Aku ngikut aja."
"Kemanapun lah, yang penting jalan. Ngilangin suntuk."

"Kita bagi tugasnya gimana? Mau kerjain bareng-bareng apa sendiri-sendiri?"
"Terserah. Aku ngikut."
"Dua-duanya boleh."
"Bareng gapapa. Sendiri-sendiri gapapa juga."


Dan.. gitu aja terus. Sampai lebaran monyet.

Jangankan untuk milih yang berat-berat semacam presiden, gubernur, walikota, dll. Milih makanan aja golput. Milih mau jalan kemana aja golput. Sekalinya disodorin opsi makanan malah komentar. Diajak jalan kesana, ngeluh.

'Terserah' atau 'ngikut' atau apapun sinonimnya itu, sama sekali bukan jawaban yang bermanfaat.

Mbok ya, apa salahnya kalo ditanya "mau makan dimana?" sebutin aja noh nama tempat makan dari ujung utara sampe selatan kota: nasi padang, pizza hut, KFC, McD, AW, dll dsb dst. "Mau jalan kemana?" sebutin itu nama tempat satu-satu: pantai utara, pantai selatan, hutan belantara, kolam renang, puncak cemara, puncak gunung, kawah belerang, mall, dll dsb dst. 


Emangnya kalo ditanya "Mau nikah sama siapa?" masih mau jawab:
"Terserah."
"Ngikut aja."
"Sama siapapun boleh, yang penting nikah."


Gak, kan?


[MEDICINE] 1/4 Tahun di Penyakit Dalam


INTERNE 16 April - 2 Juli 2018
Ruang Konferens lt. 3

Sebenernya pengen bikin redaksi judul dengan kalimat lain seperti "Internal Medicine Q&A" or "Ramadhan Indah Bersamamu" or "1/4 Tahun di Gedung Pink" or "1/4 Tahun bersama Lontong Etek" dan lain-lainnya. Tapi supaya judulnya lebih bisa dipahami banyak orang jadi yasudah. Begini saja ya.


Hai!
Seharusnya ini adalah postingan ke-9 di topic "Medicine" karena Penyakit Dalam atau sebut saja Interne ini adalah siklus ke-9 yang aku jalani selama koas. Tapi karena berbagai faktor seperti kemageran (!) dan sebagainya, 7 siklus yang lain jadi ga sempat ditulis.

Tapi setelah dipikir-pikir, life lessons dan segala macam yang aku dapat di siklus-siklus sebelumnya itu ternyata terangkum semua disini. Apalagi aku ngejalaninnya lebih lama yakni 11 minggu which is normalnya 9 minggu due to libur lebaran. 

Mari kita buka postingan kali ini dengan mengucapkan "Alhamdulillah, selesai juga Interne ini dijalani." (insyaAllah, aamiin, semoga lulus)

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------

So these are the big 3 lessons I've got.


Pelajaran Pertama : BERHENTI MENGELUH

Ini adalah hal puaaaaliiiing susah untuk dilakukan. Gimana yak. Like I've told you before, just because you're soon to be a doctor or already a doctor, lo ga bisa capek dan lo ga boleh ngantuk tengah malam dan sebagainya. Yes. Interne adalah siklus paling menguras tenaga yang pernah aku jalani. Sampai-sampai di suatu hari pada tanggal 26 April 2018, pas lagi jaga malam, pukul 20.30 aku pernah naik ke kamar koas terus duduk terus nangis sendirian. Karena apa? LITERALLY karna capek. 

Hari itu kebetulan jadwal aku sangat padat. Paginya maju BST (Bed Site Teaching) dan berlanjut dengan maju pas visite pasien (karena aku megang pasien konsulennya). Belum lagi ngerjain daily activity (sebut saja: orderan) yang patah satu tumbuh seribu. Ditambah dengan waktu itu teman jaga malamnya ada yang tidak kooperatif alias 'pato' dan orderan jaga kali itu entah kenapa lebih catasthrope dari biasanya.

Puncaknya adalah ketika ambil darah pasien sekitar jam 19:30. Awalnya yang ngambil junior aku, tapi karena dia ga dapet, akhirnya aku yang ngambil. TAPI dengan segala kecapekan dan kemumetan yang menumpuk, aku ngambilnya jadi 'terlalu semangat' sehingga itu spuit (jarum suntik) 5 cc aku tarik terus dan akhirnya lepas dan semua darah 5cc yang ada dalam spuit itu tumpah ke kasur dan kasur pasiennya jadi berlumurah darah. 

PANIK GA SEEEH T.T

UNTUNG YA ITU SI BAPAK BAIKNYA LUAR BIASA. PADAHAL ITU BAPAK BER-TATTO (which is bikin mikir macem-macem, ini bapaknya preman apa gimana, ntar kalo w digampar gimana). Si bapak-bapak yang udah w suudzon-in ini malah mengatakan dengan santai "yaudah dek ambil lagi aja nih di tangan kiri saya" sambil senyum.

SAMBIL SENYUM. Ditekankan sekali lagi. Dan bukan jenis yang mengejek gitu.

Okay fine. Kita suntik lah si bapak ini sekali lagi di lengan kirinya. Tapi ya emang dasar udah stres dan sebagainya, darahnya cuma dapet setengah (2,5cc). Jadinya ga cukup buat meriksa darah rutin, PT APTT, elektrolit, dan sebagainya. Yaudah. Nyerah. Akhirnya cuma ngirim ke labor buat periksa PT APTT.

Terus melapor lah kita ke dokter residen yang jaga hari itu, kalo darahnya begini dan begitu. Terus muka si abang residennya kayak pengen mengeluh tapi gabisa, akhirnya dia cuma menghela napas panjang. Ekspresi mukanya kayak bilang "ini anak sudah terlalu rapuh buat diomelin" jadi yaudah. Akhirnya si abang berangkat menuju si pasien dan mengambil darahnya lagi.

Alhasil, si bapak ber-tatto itu sudah disuntik 4x dalam waktu kurang dari 30 menit.

W AJA DISUNTIK SEKALI UDAH MEREEM. Jangankan disuntik, ngelepasin plester tipis abis disuntik itu aja udah meringis-ringis. Cemen.


......................................


Jadi ngelantur kemana-mana padahal tadinya mau bahas 'Berhenti Mengeluh'.

Ya, jadi begitulah netijen. Sangat susah untuk tidak mengeluh karena ya emang capek banget. Tapi kalau aja w mau berpikir dengan lebih luas, lebih open, dan lebih-lebih lainnya, kecapekan yang w rasain itu sebenernya ga ada apa-apanya.

Ga ada apa-apanya dibanding jadi pasien yang sakitnya udah pada end stage itu. Yang kayak udah nunggu ajal itu. Ga ada apa-apanya dibanding jadi keluarga pasien yang khawatir sebentar lagi anggota keluarganya akan berkurang satu. Sebentar lagi dia ga punya bapak. Sebentar lagi dia ga punya ibu. Sebentar lagi dia janda. Ya Allah. Pas emak dikuret aja w ga nafsu makan dan metroragia w kambuh. Kalo w jadi mereka, mungkin w yang mati duluan.

Apalagi setelah kemaren ngeliat berita kalo perawat di Palestine ada yang gugur kena peluru Israel (Almh. Razan). Deg! Langsung merasa kesindir gitu. Lo disini bisa bekerja dengan tenang tanpa ancaman apapun, cuma capek aja, sedangkan mereka disana selain capek, nyawanya juga terancam. Astaga betapa tidak bersyukurnya w jadi manusia.


Pelajaran Kedua : BELAJAR YANG BENER

In this kind of field, emang bener-bener ngerasa bersalah kalo belajarnya itu karena mau ujian, karena mau tampil presentasi. Lo itu belajar supaya si anak itu punya waktu lebih banyak bersama bapaknya, supaya si ibu hamil itu gajadi janda ditinggal suaminya, supaya si bapak itu bisa nemenin anaknya ambil raport dan bukannya malah tergeletak di bed rumah sakit. 

Dan juga kerasa banget kalo dampak dari yang lo lakuin sehari-hari itu cuma 2, bikin lo lebih deket ke surga atau ke neraka. Karena aku pernah baca ada 3 jenis ilmu yang pertanggungjawabannya besar, ya salah satunya ini. Ilmu yang dipakai buat bekerja sehari-hari (kira-kira begitu redaksinya). 

Waktu di siklus Mata, kebetulan aku dapat preseptor (dosen pembimbing) yang mantep luar biasa, dr. Getry Sukmawati, Sp.M(K). Sekarang sih bilangnya luar biasa, padahal dulu pas dijalani stresnya bukan main. Wkwkw. Kalimat tersering yang keluar dari mulut ibuknya kalo presentasinya lancar dan pas selesai ujian terakhir adalah "enak kan belajar?" sambil senyum keibuan yang sangat lovely.

I could say she's one of the BEST teachers I've ever had. Yang benar-benar 'mengajarkan'. Yang memotivasi. Yang kalo kita lagi tampil presentasi terkesan menyeramkan (emang serem sih, bukan 'terkesan' lagi), tapi pas ujian baik luar biasa. Baik disini bukan berarti ngelulusin gitu aja. Nope. Pertama duduk didepan ibuknya buat ujian lisan itu, kata-kata yang beliau ucapkan adalah "Yak, Bunga. Berdoa dulu. Bawa tenang dulu." Kemudian aku menghela napas panjang kayak orang mau apnu dan mulai mengucap astaghfirullah (karena merasa malu buat minta supaya ujiannya lancar padahal ibadah kacau balau). 

Pas lagi ujian dan ngomong panjang lebar, ibuknya manggut-manggut sambil makan kacang. Pas dibagian yang kita tersendat, beliau kayak men-encourage gitu. Pokoknya soo menenangkan. Dan diakhir, disebutin gitu nilai kita satu persatu, dan yang nilainya masih kurang disuruh ujian lagi supaya nilainya bisa sama tinggi. Bener-bener bikin terpacu dan nafsu bersaing itu muncul ke permukaan.



Pelajaran Ketiga : DEALING WITH PEOPLE

Khusus bagian ini aku sengaja tulis di 1 postingan terpisah, silakan di click:


............................................................................................................


That's all I could say. Semoga bermanfaat. Dan mohon doanya semoga w lulus. Aamiin.

Friday, June 29, 2018

[DAILY LIFE] Dealing with People



Belakangan ini hampir setiap hari w dihadapkan dengan kondisi 'dealing' with people on another level. Bahasa yang lebih singkatnya 'dealing' with hard people. Tapi setelah dipikir-dipikir, kayaknya bukan belakangan ini deh munculnya. W nya aja yang baru ngeh dan baru sensi sama hal beginian. Dan range peoplenya itu makin meluas dan things you have to deal with nya juga makin meningkat. Mulai dari stranger seperti keluarga pasien sampai ke emak w sendiri yang OCD nya nauzubillah.

Seriously ya keluarga pasien adalah one of the hardest people you have to deal with. Seringnya itu adalah karena perbedaan persepsi dimana yang menurut 'kami' kondisi pasiennya itu stabil dan terkendali dan baik baik saja, tapi keluarganya cemas berlebihan sehingga dia sering mengadu tiap sebentar kalo pasiennya inilah itulah dan sebagainya. Disatu sisi annoying, apalagi kalo kaduannya muncul di jam-jam mata lo mulai ptosis, ketika kelopak mata atas dan bawah lo saling merindu dan ingin berpelukan. Jahat sih emang, tapi ya w gabisa sok suci juga sih, just bcos you think you're soon to be a doctor or already a doctor, lo juga manusia biasa yang bisa ngeluh dan bisa capek dan bisa ngantuk tengah malam.

Berhubung w menyinggung capek, w jadi kepengen ngebahas how it feels to work in 'this field'. Gimana rasanya? Berasa srigala dalam selimut. Alay amat bahasanya. I mean lo capek dan lo ngeluh gabisa tidur dan disaat yang bersamaan lo juga harus belajar dan mikirin ujian dan sebagainya, tapi disatu sisi lo tau berada di posisi keluarga pasien itu jaaaaauh lebih berat (I've been there too pals,  waktu emak dikuret dan dioperasi sekitar 2 tahun yang lalu) Terkadang menjadi orang yang mengerti medis itu bikin lo ngerasa kalo gak tenang banget ya kalo gak cemas banget. Tenang karena despite of keluhannya yang mengerikan, lo paham somehow it's gonna be okay. Cemas karena lo tau setelah penyakit yang dialaminya saat ini, akan ada serentetan komplikasi yang cepat atau lambat pasti terjadi, walopun mereka ga ada keluhan. Lo tau kalo ini keluarga lo bisa mati kapan aja walopun keluhannya minimal.

I really understand how it feels to be keluarga pasien. Ngeliat emak w packing buat nginap di RS aja rasanya tu udah nyesek. Bukan sedih tapi nyesek, kayak tercekat gitu. Then hari-hari selama emak di RS. Rumah yang biasanya ada emak lo nonton tv di ruang tengah sambil cekikikan, emak yang biasanya ngomel karena piring ga langsung dicuci abis makan, sekarang hening. W yang saat itu tau kondisi emak will be fine aja udah nyesek luar biasa sampe-sampe metrorragia w kumat. Apalagi jadi keluarga pasien yang sakitnya emang end stage dan ga ada harapan buat sembuh sama sekali like DM (diabetes mellitus), CKD stg V (gagal ginjal, yang orang awam biasanya taunya udah cuci darah), dll. W gatau segelap apa dunia yang mereka hadapi dan w gatau apakah kalo w di posisi mereka w masih nafsu makan apa gak.

Tapi teteeeeup aja.

W masih juga mengeluh karena harus dinas lagi harus jaga malam lagi harus ngerjain orderan lagi dan sebagainya. Padahal w lagi ga ngejagain pasien di ghaza dan beresiko kena peluru kyk Almh. Razan. Padahal w masih sehat dari ujung rambut sampe ujung kaki dengan support system alias keluarga inti yang masih lengkap dan sehat jiwa dan raga dan saling menyayangi. Padahal w punya more than million things yang bisa disyukuri but still, here I am.

Selain keluarga pasien, lately I also found it hard to deal with some friend. Seperti yang dikatakan orang orang, semakin lama lingkaran pertemanan lo bakal semakin sempit tapi kualitasnya akan semakin deep. Entah kenapa semakin lama tabir itu semakin terkuak. Bahasa apaan nih. Semakin lama aslinya orang itu entah kenapa muncul ke permukaan. The biggest lesson for me this year 2k18 is dealing with people yang perhitungan kalo kerja. They count euuvverry little action they made and they compare it to you, they've done this and this so according to 'law' you're the one who should do that and that, or you owe them a help, you have to pay them back. Lack sedikiiiit aja, even yang ga disengaja pun, they'll tell others that you are PATO. You are water cat. You are uncoperative. You are THAT bad.

I found an amazing writer wrote this one on her blog:

"We simply can’t expect other people to treat us how we would treat them, whether in friendship, in love, or in life in general. We don’t all have the same ideas about transparency, loyalty, forgiveness, patience, or what it means to love each other with the fierceness that I believe we all deserve. But you know what? That’s okay.

At the end of the day, I think it goes a long way to just be kind. Remember that everyone is doing his or her own best in the midst of individual uncertainty, hurt, insecurity, fear, rejection, and everything else that life throws at each one of us. Maybe we’d all do well to forgive each other for being human and choose to gravitate toward people who love like we do.”

Ternyata emang bener. "Repeating life lessons until they are learned." We knew each people are fcking different. But I knew is unfortunately different with I've learned. Hal-hal pelik seperti kesabaran, how to respond properly, how to be professional, dan sepupu-sepupunya itu butuh latihan yang setiap orang beda-beda jatah waktu dan intensitasnya. They never work instantly. There's a word saying "when you cant change the situation, it's you who have to change." It's you who have to adapt. It's you who have to grow.

Tapi kan kita manusia ni emang keras kepala. Pantang disalahkan. Semut aja disalahin padahal dia cuma nyari makan. Kita sendiri yang ceroboh biarin tuh toples gula tutupnya ga rapat. 

Monday, June 25, 2018

[DAILY LIFE] Being 23 yo: What I've Learned The Most



Mari kita buka postingan pertama di tahun 2018 ini dengan mengucapkan:
"ALHAMDULILLAH. Yang punya blog masi hidup. Belum mati belum kelindas belum tenggelam belum apnu."

Astaga. Udah 6 bulan sejak postingan terakhir. Udah 6 bulan w terlalu fokus jadi 'budak RS'. Udah 6 bulan blog ini berdebu berlaba-laba dan berkecoak. Yauda. Gausa basa-basi lagi. Di tahun 2018 yang tjerah ini mari kita membahas sesuatu yang... gatau si bakal ringan sedang atau berat.

Jrengjrengjreeengg.. Bismillah.


1. Memulai sesuatu yang baik itu gampang, mempertahankannya super susah.

That's why Allah sangat menyukai amalan yang sedikit namun rutin, daripada amalan yang superb tapi cuma dilakuin sekali seminggu or sebulan or kapan ingat. That's why istiqamah itu sangat mahal harganya. Padahal kebaikan itu bisa jadi hanya berusaha untuk tidak mengeluh setiap kali hujan lebat dan mengacaukan rencana. Padahal bisa jadi kebaikan itu hanya berupa bertilawah 1 halaman per hari. Ya Allah cuma 1 halaman sehari dan masih susah juga buat merutinkannya? Yak. Baru ingat kalo right beside you selalu ada Jin yang benci banget kalo lo ngelakuin itu dan setia membisikkan berbagai alasan yang menurut logikamu dianggap benar. 

Btw jin itu rajin bener ya. Kita aja yang udah ngelakuin daily life sesuai passion pun kadang bisa jenuh, bisa mumet. Lah mereka semangat terus. Gamau tau pokoknya ni orang harus ikut bareng gue ke Jahannam.

Astaghfirullah.

2. Tidak ada orang yang seutuhnya baik dan tidak ada orang seutuhnya jahat.

That's why you never ever can judge people. Muka manusia itu banyak. Apa yang ia tampakkan pada A tidak sama dengan yang ia tampakkan pada B. Apa yang terlihat buruk or riya or sejenisnya diluar, belum tentu niatnya juga buruk, meskipun kamu berdalih dengan "niat yang baik harus disertai dengan cara yang baik juga dong." Kita bukan Tuhan yang bisa mendengar semua isi hati dia. Kita tidak akan pernah bersama dengan manusia manapun selama 24 jam full eventhough she/he is our pious. Emangnya lo ngikutin dia ke toilet juga pas BAB? Gak kan. We'll never see what's in everyone's mind. We'll never know what's everyone's intention. Kita hanya menduga. Hanya berprasangka. And Allah said janganlah berprasangka, sebagian besar dari prasangka itu adalah buruk.

Ada hal menarik yang w tangkap selama 1 tahun jadi koas ini. Setiap orang punya pembenaran masing-masing dan setiap orang gak mau dianggap salah. Misalkan ada sebuah kesalahpahaman antara A dan B. Masing-masing A dan B akan bercerita kepada koloninya mengenai masalah tersebut dari sudut pandang 'mereka'. Sadar gak sadar mereka akan bercerita dan mengisyaratkan kalau yang benar itu adalah mereka. Siapa yang sebenarnya "benar" dan siapa yang sebenarnya "salah", hanya Allah dan nurani mereka masing-masing yang tau. Lo pasti ngerasa lah kalo yg lo lakuin itu sebenarnya gak sesuai norma sosial atau sebagainya, kecuali kalo nurani lo dah mati. Then, wallahu'alam.

Tapi emang susah banget woy. Di zaman dimana para lambe berserak ini, untuk tidak men-judge or berprasangka itu emang ujian terberat.


3. Mengingatkan itu boleh, tapi jangan didepan umum.

Melalui surat Al-Asr, Allah mengajak agar kita saling menasehati dalam hal kebaikan. But, niat yang baik harus disertai cara yang baik pula kan? Seperti bagaimana Rasulullah berdakwah. Niatnya benar, tapi kalau Beliau melakukannya dengan cara yang tidak sinkron, mana mungkin Islam bisa bertahan hingga detik ini.

Ada yang berdalih bahwa mereka 'berdiskusi' (bahasa awamnya: gibah) untuk merumuskan solusi, untuk merumuskan hal-hal apa yang harus dibenarkan dari oknum yang mereka diskusikan. Tapi abis itu si orang ini mereka 'nasehati' didepan orang lain. Kalau niat lo emang murni mengingatkan kesalahannya tanpa ada maksud mempermalukan or menghakimi or sejenisnya, ya lakukanlah secara personal. Bahkan pelajaran mengenai parenting pun mengatakan if u really need to scold ur child, don't do it in front of their siblings. Bahkan didepan saudara kandung sendiripun tetap harus dijaga pride-nya.

4. Sometimes, you have to be BUDEG sama apa kata orang.

Ini agak gambling memang. Deciding mana yang harus 'didengar' dan mana yang harus di-budeg-in itu sangat butuh kemampuan menilai sesuatu secara objektif yang superb. Karena bisa jadi yang pengen kita budeg-in itu sesuatu yang baik, hanya saja karena pikiran kita sudah terkunci jadinya ga ada akses buat hal-hal baik untuk masuk. Terus gimana? Someone said to me "ngucap Astaghfirullah dulu. Netralin pikiran dulu. Lalu dengar kata hatimu, kata nuranimu. Apakah ini lebih baik dibudeg-in? Atau justru apakah ini pesan kebaikan yang dititipkan-Nya melalui orang itu?"


5. PLOT TWIST bisa terjadi kapan saja. 

Serapi apapun manusia berencana, rencana Allah juga tetap jalan. And we'll never know apakah yang kita rencanakan serasi dengan rencana-Nya. Berhubung daily life aku setahun ini didominasi oleh rumah sakit, then I'd like to point out about the bad plot twist and the death. Terutama pas w lagi stase forensik. Lo gapernah tau ketika lo sekeluarga lagi menjenguk saudara ke RS, terus pulang bareng tapi bokap lo pisah sendiri karena ada urusan lain, dan tau tau lo dapat telpon kalo bokap lo tewas ditempat abis kelindes truk. Lo gapernah tau ketika lo nunggu abang lo yg pulang kampung naik bis, tau tau pas dia turun kakinya salip/nyangkut terus jatuh dan kemudian bisnya jalan dan dia kelindas. Lo gapernah tau ketika lo nungguin kakek lo pulang umrah, tau-tau dapat kabar beliau meninggal di pesawat. Umur gaada yang tau.


.................................

Sekian dulu random thoughts malam ini. InsyaAllah part selanjutnya akan menyusul dalam tempo yang sesingkat-singkatnja.