Saturday, December 9, 2017

[FRIENDS] 22 Tahun untuk Nadya

.................
...............................
...............................................


Selamat subuh nad! Hadiah ini mulai kubuat di suatu subuh di hari Sabtu. Hari ketika semua beban sekolahku sudah jauh berkurang. Bukan hilang seutuhnya, karena di hari Sabtu yang semoga cerah ini, aku ada jadwal jaga di RS mulai jam 8 pagi nanti sampai jam 8 pagi besoknya. Tapi setidaknya pikiranku sudah tidak berat lagi oleh ujian yang bertumpuk. Hehe.

Cinad apa kabar? Aku sangat merindukan Cinad :"

Di dalam hadiah yang semoga bermanfaat ini, aku ingin memberitahukan Cinad akan banyak sekali hal. Tentang kehidupanku dan bagaimana ia menempa. Tentang orang-orang disekitarku dan bagaimana ia membentuk. Tentang apapun yang ingin kuceritakan disetiap episode rindu.

Bagaimana rasanya menua, Nad? Ternyata kita tidak bisa bertahan untuk tetap idealis layaknya muda dulu. Wkkwkw kayak udah tua banget aja. Ada banyak hal yang perlu dipertimbangkan. Ada banyak jiwa yang perlu di empatikan. Keputusan hidup itu, pada akhirnya perumusannya melibatkan banyak orang ya?

...

Nad aku ingin memberitahu Nad suatu hal bahagia, bahwa aku sangat amat mensyukuri jalanku saat ini. Segala perkara kebetulan, pada akhirnya akan menemukan hikmahnya sendiri. Butuh waktu dan butuh ruang penerimaan yang amat luas untuk mendapatkannya. Dan aku ingin sekali tahu bagaimana kehidupanmu saat ini juga sama halnya seperti aku, membuatmu bersyukur bahwa jalan hidupmu adalah seperti ini. Seperti detik ini.

...

Nad, I've seen so many people passing all the hospital corridors. Hidup dan mati itu, sebertetangga itu. Yang katanya disebut 'Malaikat Maut menziarahi kita setiap 21 menit disetiap harinya', aku yakin justru tiada detik tanpa aku bertemu Malaikat Maut. Berdiri tepat disampingnya pun mungkin aku pernah. Setelah aku pikir-pikir, ternyata mengerikan juga. Bagaimana jika sewaktu-waktu, ia salah cabut nyawa dan malah mencabut nyawaku? Hehe ga mungkin salah cabut ya. Tapi itu pernah ‘terjadi’. Maksudku, di suatu hari pernah ada kejadian seorang keluarga pasien tiba-tiba jatuh disaat solat. Semua berkumpul dan berusaha memberikan pertolongan pada ibunya. Tapi, kalau sudah waktunya, tidak ada yang bisa mengelak ya. Justru keluarga penunggu pasiennya yang dipanggil lebih dulu.

.....

Nad, aku baru menyadari kehidupan yang aku jalani saat ini bisa dibilang sangat tidak normal. Layaknya pengabdi negara yang melepas titel 'warga sipil'nya. Aku dan seluruh budak-budak RS ini secara tidak langsung juga melepas titel 'manusia normal'nya. Tidur tidak pernah cukup. Makan tidak pernah beres. Terpapar infeksi-infeksi berat setiap hari. Perihal waktu? Jangankan untuk orang-orang sekitar, jangankan untuk keluarga, waktu untuk diri sendiri saja rasanya sudah dibabat habis. Waktu untuk Tuhan? Astaghfirullah. 

Tapi,

syarat kehidupan agar terus belanjut adalah harus selalu ada pengorbanan, bukan?
Setiap ibu harus berkorban rasa sakit hingga nyawa untuk melahirkan kehidupan baru. Setiap supir, masinis, pilot, dan pengemudi apapun harus berkorban agar disetiap hari raya semua orang bisa berkumpul bersama keluarga.

...

Nad, maafkan jika beberapa paragraf awal justru kesannya seperti aku yang bercerita, kesannya tidak seperti hadiah. Tapi yang pasti aku ingin Nad tahu suatu hal. Bahwa waktu kita tidak lama lagi dan mungkin disuatu hari, aku bagimu atau kamu bagiku hanya tinggal sebatas foto dalam galeri. Hanya tinggal sebatas percakapan-percakapan usang, hanya tinggal wajah dalam ingatan. Waktu tidak pernah ada yang tahu. Tapi hingga detik ini dan insyaAllah hingga sampai kapanpun aku bernapas di dunia ini, Nad harus tahu kalau Nad sudah menjadi bagian yang krusial dari hidup seorang Zahara Bunga.

...

Nad, maafkan jika sekarang atau di suatu hari, waktuku jadi susah untuk dibagi, even for just making this small gift. Aku masih belajar untuk beradaptasi dengan semua tuntutan ini dan semoga adaptasiku tidak memerlukan waktu lebih lama lagi. Berkat ini, aku jadi terpikir banyak hal. Sekarang saja membagi waktu rasanya sesulit itu, bagaimana nanti kalau aku sudah menjadi istri seseorang? Ibu seseorang?

...

Cinad, apa kabar detik ini?
Semoga hari ini dan seterusnya, aku tidak akan menemukan Nad di rumah sakit manapun sebagai pasien. Semoga Nad justru datang berkunjung untuk membawakanku makan siang misalnya. Hehe.

Aku ingin tahu banyak sekali perihal kehidupan Nad yang sudah banyak terlewat. Aku ingin sekali tahu bagaimana lingkunganmu membuat Nad menjadi seorang Nadya hari ini. Menjadi seorang Nadya yang tetap menjadi teman terbaikku dan low profile seperti adanya dulu.

Aku ingin bertemu dan tetap bertemu Nad untuk beberapa tahun lamanya. Menceritakan keresahan disetiap periode kehidupan. Menceritakan kegalauan, kebaperan, keputusan-keputusan hidup, bahkan merk popok anak yang tidak bikin bokongnya merah-merah. Hehe.

...

Ternyata, kita sudah sampai di fase dimana kegalauan kita tidak lagi hanya sebatas jodoh, tapi juga perihal kehidupan itu sendiri. Tapi, bagaimanapun kerasnya kekuatan jarak dan waktu memisahkan, semoga Nad akan selalu ada di setiap fase kehidupanku, dan begitupun aku selalu ada di setiap fase kehidupanmu Nad.

...

Selamat menua, Nad!

Selamat mencicipi usia baru. Selamat menikmati hari-hari yang tersisa. Semoga segala badai, segala petir, segala kerikil, segala pisau yang menghujam, membuat Nad tumbuh menjadi manusia yang lebih kebal. Menjadi manusia yang lebih beriman dan cinta pada Tuhan. Menjadi jiwa yang kelak kedatangannya di langit disambut beribu malaikat.



With tons of love
1 jam sebelum sampai di RS





(dr.) Zahara Bunga H., (Sp.JP-K)

Sunday, September 3, 2017

[SELF HELP] Consistent, The HARDEST Battle

(photo source: shutterstock)


Complete series of Self Helps :
6. [SELF HELP] Consistent, The HARDEST Battle

-------------------------------------------------------------------------------------------


C : Bang, lagi apa?
A : Biasa. Job.
C : Oh.
A : Kenapa?
C : Aku boleh ganggu nggak?
A : Kenapa emangnya?
C : Mau curhat aja.
A : Sekarang banget?
C : Ya makanya aku tanya. Boleh apa nggak sekarang..
A : Berat banget?
C : Apanya?
A : Masalahnya?
C : Sama aku iya. Sama abang kayaknya nggak.
A : Emangnya tentang apa?
C : Tentang kehidupan.
A : Tumben. 
C : Serius niih..
A : Yaudah bentar ya. 10 menit lagi.
C : Ok.


A : Jadi gimana?
C : Nggg. Darimana ya mulainya.
A : ..............
C : Kok aku rasanya akhir-akhir ini gak becus banget ya bang?
A : Gak becus ngapain?
C : Gak becus ngurus diri sendiri.
A : Emangnya kenapa?
C : Rasanya susaaaaaah banget buat disiplin-konsisten-komitmen-istiqamah ngerjain sesuatu itu.
A : Oh. Itu toh.
C : Semuanya serba keteteran. Ini ga selesai. Yang itu ga kekejar. Shalat cuma formalitas. Rasanya kayak gabut dan hectic disaat yang bersamaan.
A : ...........
C : Rasanya kayak punya waktu yang cukup banyak buat ngerjain semuanya tapi sebenernya nggak. Akhirnya jadi santai-santai. Pas udah terdesak baru mintak mati. Stres sendiri. Stres yang harusnya ga terjadi kalo aku bisa lebih disiplin dikit. Bisa lebih paham kalo waktu yang tersedia itu sebenernya ga sebanyak yang aku kira.
A : Hmmm.
C : Aku seperti terlalu banyak ngabisin waktu yang objectively ga berfaedah. Awalnya seperti ngasih pembelaan atau reward ke diri sendiri, "gapapa, istirahat aja dulu. Nonton dikit." Rayuan '5 menit' yang menipu. Kalo udah begitu, fokusnya jadi berubah. "Ah, bisalah nanti PPT nya dikerjain pas mau tidur. Kan tinggal copas aja." / "Ah, bisalah ya nge-printnya besok pagi aja sekalian berangkat." Terus besokannya jadi panik sendiri. Jadi daily hypercortisolism.
A : .........
C : Solat itu bener-bener kerasa kayak buat menuhi kewajiban aja. Feel 'bertemu Dia' nya ga dapet lagi. Ngaji kalo pas lagi sempat aja. Amal yaumi yang lain? Jangan ditanya. Ga kebangun subuh, ga sempat sahur, gajadi puasa. Duha apalagi. Tahajud mengenaskan. Gimana ya. Rasanya menjalani hari itu kayak semacam formalitas aja. 
A : ..........
C : Padahal pemahaman aku rasanya udah pas. Checklist harian udah ada. Bener-bener tok, tinggal ngerjainnya aja. Visinya udah ada. Misinya yang ga jalan-jalan. Sekalinya mulai, ntar berhenti lagi. Membiasakannya, mendisiplinkannya, rasanya tu susaaaaah banget.
A : ............
C : Gimana tu bang? Kayak mana caranya?
A : Cara apa?
C : Ya ituuuu, yang aku ceritain panjang lebar barusaaaan.
A : Ooo.
C : ................
A : Bentar ya, abang minum dulu. Haus.
C : Heeh. Yang ngomong siapa yang haus siapa.


C : Udahan hausnya?
A : Udah.
C : ...............
A : Sebenarnya perihal konsisten-komitmen-disiplin-istiqamah itu masalahnya sederhana. Kamu lupa kalo kamu cuma numpang hidup sebentar doang di dunia. Kamu lupa kalo total waktu yang kamu punya di dunia bahkan tidak lebih dari 1 hari di Padang Mahsyar.  Kamu lupa kalo kamu ga punya waktu banyak dan atas jatah waktu yang sedikit itu, nanti kamu bakal disidang, kamu gunakan untuk apa waktunya, sesingkat apapun itu. Dan yang lebih parahnya lagi, kamu lupa kalo Dia Maha Melihat dan Selalu Melihat. 
C : ................
A : Udah.
C : Ha? Gitu doang?
A : Iya. Ngapain panjang-panjang. Intinya juga sama.
C : ...............
A : ...............
C : ...............
A : Mangat ya!

Saturday, September 2, 2017

[FEELING] Akhirnya Patah Hati Juga!



Sepandai-pandai tupai melompat, pasti akan jatuh juga. My blessed age -twenty two- akhirnya tercemari juga. Selamat! Belum pernah dapat 'pelajaran' ini sebelumnya kan, my soul?

Rite. I'm twenty two and just two month after the Day, for the first time in my blissful 8000+ days, akhirnya ngerasain juga yang namanya patah hati! Congbrokentulation!


Seriusan baru pertama kali?
Serius.

Baru pertama kali suka sama orang ya?
Nggak. Pertama kali aja waktu kelas 4 SD. Wkwk.

Lah, terus abis itu pasti ada suka juga ke yang lain, emangnya 'gayung bersambut' terus ya?
Nggak lah. Ada yang one-sided juga kok. 

Nah, kan pernah one-sided tu. Emangnya ga patah hati waktu itu?
Nggak.

Kok one-sided yang sekarang malah patah hati?
Ngg. Ermm. Karena yang ini one-sided rasa two-sided tapi ujung-ujungnya ternyata one-sided.


:(

Pelajaran kali ini lumayan berharga karena akhirnya aku tau how it feels like to be Karin, to be Nesa, to be Dewi, to be Kina, to be any of my friends yang pernah curhat karena patah hati berat. Kesalahan mereka saat itu adalah mereka curhat ke orang yang salah. Orang yang resisten sama rasa-rasa galau begituan. Empati sih. Tapi disisi lain batinnya ngomong, "yaampun sis kayak ga ada laki-laki lain aja." / "yaampun inilah resikonya suka sama yang baik ke semua wanita" / "masak gini doang kamu sampe nangis sih?" / "makanya jangan dengar lagu galau mulu"

Setidaknya, aku jadi paham dan bisa lebih memahami (sedikit) asal muasal lagu-lagu galau itu tercipta. Setidaknya, aku jadi tau gimana rasanya jadi mereka. 

Emang rasanya gimana?
Rasanya itu sama mengerikannya dengan masa-masa sulit saat skripsi bersama salah satu penguji mahadahsyat setahun lalu. Sama mengerikannya dengan 'mencair' saat tampil ilmiah hari Kamis tanggal 31 Juli kemaren karena ga sempat belajar dan gabisa jawab pertanyaan konsulen super mood-swing. 

Nggak ding. Nggak sama. Skripsi alhamdulillah telah usai dan ilmiah juga telah usai. Aku tidak akan mendadak sedih atau eksaserbasi lagi karena teringat masa-masa itu saat liat foto-foto koas di Bukittinggi atau saat liat foto bersama dr. Y sehabis ujian skripsi. 

Patah hati itu ternyata rasanya sesuram itu gais. Sesaat setelah kejadian X di hari itu, aku cuma diem aja. Masih dalam tahap denial. Kayak-kayak 'ga percaya' gitu. Dua-tiga jam kemudian rasanya makin berat. Gimana ya ngedeskripsiinnya. Sesak pokoknya. Akhirnya mulai ngechat seseorang, sebut saja namanya Karina (bukan nama samaran). Yang lebih buruknya lagi adalah hari itu ada acara besar di KKN kami (kejadiannya waktu aku lagi KKN cuy). Malam itu ada pagelaran seni dan aku tampil tari pasambahan yang mengharuskan aku untuk melancarkan senyum-senyum penuh kepalsuan didepan tons of audiens ckck. Setelah selesai barulah aku cek HP dan ternyata Karina sudah membalas dengan kata-kata yang semakin membuat sistem limbik ini remuk redam. Wkwk lebay. Tapi emang begitu rasanya, seriusan. Mana ini anak pake acara ngirim voice note suara dia nyanyi lagi. Itu tuh, lagunya Tiffany yang "Jangan Bersedih" itu. Duh. Berair jua lah mata ini sedikit jadinya.

Malam itu sangat-sangat nightmare. Tapi aku adalah orang yang healing by sleep. Besok paginya masih berat sih. Tapi udah lumayan berkurang. Dua hari kemudian rasanya udah healing sempurna. Waktu itu sambil nge-appreciate diri sendiri gitu. "Goodjob my soul, coping kamu masih bagus! Kamu masih normal. Udah ga broken lagi kan?"

Eh emang dasar teman-teman tukang kompor. Mungkin mereka ini adalah ujian dari-Nya. Untuk naik level itu memang harus ada ujian dulu ternyata. Untuk memastikan kita udah muv on itu harus dikompor-kompori dulu. Waktu itu biasa aja. Pas pulangnya jadi kepikir-pikir. Nyampe rumah malah jadi eksaserbasi. Didonlot jua lah akhirnya lagu-lagu Afgan dan Dygta itu. Kan duo penyanyi itu rata-rata genre lagunya gitu semua yak. Makin didenger makin remuk. Dasar wanita. 


Waw. Terus sekarang gimana rasanya?
Hari ini, tepat sebulan abis kejadian tersebut. Sekarang udah lumayan biasa aja. Emang bener, mencari kesibukan itu adalah solusi paling tepat, apalagi kalo kesibukannya ga perlu dicari-cari lagi, udah disodorkan didepan mata. Beuh, terimakasih Allah karena Engkau telah membuat goresan patah hatiku terhapus oleh kerasnya ombak-ombak koas, meskipun kadang-kadang tetap suka eksaserbasi singkat et causa gak sengaja mutar lagu-lagunya Afgan dan Dygta.

Nggak. Solusi terbaiknya adalah curhat sama Dia. Dan fixing your pemahaman bahwa ini tu ga ada apa-apanya. Dunia dan seisinya ini aja ga lebih berharga dari sebelah sayap nyamuk. Apalagi your broken heart et causa one-sided love? No no no. Objectively itu ga bener. Dunia ini cuma sementara, sandiwara pula. Boleh lah sedih dikit, patah hati dikit, beberapa menit aja. Beberapa jam lah paling lama. Jangan lebih sehari. Karena Dia udah sediakan malam sebagai tempat mengadu, kan?


*ngomong aja pandainya


Kata terakhir?
Too all of you my nicest reader, bagi yang belum pernah patah hati, beryukurlah. Tapi nyobain agak sekali boleh juga lah ya. Lumayan kan kalo denger lagu-lagu galau itu feel nya jadi lebih dapet.

Thursday, August 3, 2017

[SELF HELP] Mature with Damage, Not Years

Complete series of Self Helps :
5. [SELF HELP] Mature with Damage, Not Years

-------------------------------------------------------------------------------------------

7 tulisan dibawah ini aku ambil dari salah satu akun LINE@ paling berfaedah menurutku: Human Development. Tapi sayangnya akhir-akhir ini mereka ga terlalu sering update. Semoga tetap bertahan dan keep inspiring yha :"






Zona Waktu


Papua 2 jam lebih awal dari Jakarta, tapi tidak berarti Jakarta lambat atau Papua cepat. Keduanya bekerja sesuai "Zona Waktu"nya masing-masing.


Ada orang yang masih sendiri. Ada yang nikah sudah beberapa kali. Ada orang yang menikah dan harus menunggu 10 tahun untuk memiliki momongan. Ada juga yang memiliki momongan dalam setahun usia pernikahannya.


Ada orang yang lulus kuliah di usia 22th, tapi menunggu 5 tahun utk mendapatkan pekerjaan tetap; yang lainnya lulus di usia 27th dan langsung bekerja.


Seseorang menjadi CEO di usia 25 dan meninggal di usia 50 disaat yg lain menjadi CEO di usia 50 dan hidup hingga usia 90th.


Setiap orang bekerja sesuai "Zona Waktu"nya masing-masing.


Seseorang bisa mencapai banyak hal dengan kecepatannya masing-masing.

Bekerjalah sesuai "Zona Waktu" kita.

Kolega kita, teman-teman, dan adik kelas kita mungkin "tampak" lebih maju. Mungkin yang lainnya "tampak" di belakang kita.


Setiap orang di dunia ini berlari di perlombaannya sendiri-sendiri, jalurnya sendiri-sendiri, dalam waktunya masing-masing. Allah punya rencana berbeda untuk masing-masing orang. Waktu berbeda untuk setiap orang. 


Obama pensiun dari presiden di usianya yang ke 55, dan Trump menjadi presiden di usianya  yang ke 70.


Jangan iri kepada mereka atau mengejeknya...


Itu "Zona Waktu" mereka.

Kita pun berada di "Zona Waktu" kita sendiri.

Kita tidak terlambat. Kita tidak lebih cepat. Kita punya zona waktu sendiri.


Selamat menikmati waktunya Allah.








Source: http://www.huffingtonpost.com/margaret-paul-phd/the-difference-between-happiness-and-pleasure_b_7053946.html

The Difference Between Happiness and Pleasure


We are a pleasure seeking society. Most of us spend our energy seeking pleasure and avoiding pain. We hope that by doing this, we will feel happy. Yet deep, abiding happiness and joy elude so many people.


There is a huge difference between happiness and pleasure. Pleasure is a momentary feeling that comes from something external — a good meal, our stocks going up, making love and so on. Pleasure has to do with the positive experiences of our senses, and with good things happening. Pleasurable experiences can give us momentary feelings of happiness, but this happiness does not last long because it is dependent upon external events and experiences. We have to keep on having the good experiences — more food, more drugs or alcohol, more money, more sex, more things — in order to feel pleasure. As a result, many people become addicted to these external experiences, needing more and more to feel a short-lived feeling of happiness.


Thomas sought my counseling services because he “had everything” — his own successful business, a lovely wife and children, a beautiful home, and time to enjoy life. Yet he was not happy. While he had momentary feelings of pleasure while watching a ball game or socializing with his friends, he also felt anxious and depressed much of the time. In fact, the anxiety had become so bad that he was having almost constant stomach pain, which his doctor told him was from stress.


As we worked together, it became apparent that Thomas’s main desire in life was to have control over people and events. He wanted others to do things his way and to believe the way he believed. He was frequently judgmental with his employees, wife, children and friends, believing that he was right and they were wrong and it was his job to straighten them out with his judgment and criticism. His energy would become hard and tough and he would be like a steamroller in his efforts to get his point across and get others to do things his way. When it worked and others gave in, Thomas felt a momentary pang of pleasure. But the pain in his stomach kept getting worse and worse, which is why he decided to consult with me.


Thomas also wanted control over his own feelings, and would often judge himself as harshly as he judged others in an effort to get himself to perform well and to feel okay. He especially judged himself harshly when he felt rejected by others, frequently telling himself that he was an inadequate jerk and a loser.


As we worked together, Thomas began to see that happiness is the result of choosing to be a kind, caring, compassionate and gentle person with himself and others - quite the opposite of the judgmental, controlling person he had chosen to be. Thomas learned that happiness is the natural result of being present in each moment with love and kindness toward himself and others, rather than with being attached to the outcome of things and trying to control the outcome regarding events and others’ behavior. He discovered that he felt deep joy whenever he let go of control and chose caring instead. The anxiety in his stomach went away whenever his intention was to be a kind and caring person rather than a controlling one.


It is not easy to shift out of the deep devotion to control and become devoted to love and compassion toward oneself and others, and most people need much support to make this shift. Our ego wounded self has been practicing control since we were very little. Yet the moment our intent is to control, our heart closes and we feel alone and anxious inside. Our intent to seek safety and pleasure through controlling others, outcomes, and our own feelings leads to an inner feeling of abandonment and emptiness. We abandon ourselves when we are trying to control our feelings rather than be kind and compassionate with ourselves. Our anxiety and feelings of emptiness lead to more seeking outside ourselves to fill up with pleasurable experiences. The momentary pleasure leads to addictive behavior.


As we learn to shift our intent from controlling and not being controlled, to becoming loving to ourselves and others, the heart opens and joy is the result. Deep and abiding happiness and joy are the natural result of operating from the spiritual values of caring, compassion and kindness.







Source: http://www.health.harvard.edu/healthbeat/giving-thanks-can-make-you-happier
Also watch this video to feel the happiness from gratitude: https://www.youtube.com/watch?v=oHv6vTKD6lg

Giving Thanks, Can Make You Happier!

The word gratitude is derived from the Latin word gratia, which means grace, graciousness, or gratefulness (depending on the context). In some ways gratitude encompasses all of these meanings. Gratitude is a thankful appreciation for what an individual receives, whether tangible or intangible. With gratitude, people acknowledge the goodness in their lives. In the process, people usually recognize that the source of that goodness lies at least partially outside themselves. As a result, gratitude also helps people connect to something larger than themselves as individuals — whether to other people, nature, or a higher power.


In positive psychology research, gratitude is strongly and consistently associated with greater happiness. Gratitude helps people feel more positive emotions, relish good experiences, improve their health, deal with adversity, and build strong relationships.


People feel and express gratitude in multiple ways. They can apply it to the past (retrieving positive memories and being thankful for elements of childhood or past blessings), the present (not taking good fortune for granted as it comes), and the future (maintaining a hopeful and optimistic attitude). Regardless of the inherent or current level of someone’s gratitude, it’s a quality that individuals can successfully cultivate further.

---------------------


Gratitude is a way for people to appreciate what they have instead of always reaching for something new in the hopes it will make them happier, or thinking they can’t feel satisfied until every physical and material need is met. Gratitude helps people refocus on what they have instead of what they lack. And, although it may feel contrived at first, this mental state grows stronger with use and practice.


Here are some ways to cultivate gratitude on a regular basis.

  • Write a thank-you note. You can make yourself happier and nurture your relationship with another person by writing a thank-you letter expressing your enjoyment and appreciation of that person’s impact on your life. Send it, or better yet, deliver and read it in person if possible. Make a habit of sending at least one gratitude letter a month. Once in a while, write one to yourself.
  • Thank someone mentally. No time to write? It may help just to think about someone who has done something nice for you, and mentally thank the individual.
  • Keep a gratitude journal. Make it a habit to write down or share with a loved one thoughts about the gifts you’ve received each day.
  • Count your blessings. Pick a time every week to sit down and write about your blessings — reflecting on what went right or what you are grateful for. Sometimes it helps to pick a number — such as three to five things — that you will identify each week. As you write, be specific and think about the sensations you felt when something good happened to you.
  • Pray. People who are religious can use prayer to cultivate gratitude.
  • Meditate. Mindfulness meditation involves focusing on the present moment without judgment. Although people often focus on a word or phrase (such as “peace”), it is also possible to focus on what you’re grateful for (the warmth of the sun, a pleasant sound, etc.).
So, be thankful!






We Mature with Damage, Not Years


Every year on the day I turn older I always write a letter to myself. Be it a pile of reflective essay or just a short note I keep safe in my laptop. The majority of people think that older means wiser, but hell no. It never depends solely on age. Each time I look back, something different soothes my nerves. Sometimes it’s because of the change of what used to be firmly grounded yet stubborn understanding or the fleeting awareness that lead me to cry for happiness or sadness or anything in between.


Everything I write captures any peak experience, mental breakdown, a change of heart, endless debate in my head or maybe just simple small-cumulative improvements. At certain point I might laugh because I was annoyingly stupid last year or I might be torn because the changes that happened are just too much to take. Whenever I reread those things, there’s one thing I realize, the ultimate teacher of my being is the damage that ever happened to me.


It might sound like a grievous way to look at it, but I just wanna provide another way to look at it. Many successful thinkers develop from a turning point in where they contemplate what life has done to them and what would they do afterwards.


Alfred Adler worked on inferiority complex after the years of miserable childhood. He was a sickly child who thought that he’s ugly, small, and had severe rivalry with his brother yet he became the president of Vienna Psychoanalytic Society. Carl Jung entered his dark years after his friendship with Freud fell apart, became depressed, and couldn’t read any scientific books, yet he developed his own theory of personality after all. Karen Horney’s marriage disintegrated and she attempted to commit suicide a few times, yet she built her own organization, became the first psychoanalytic feminist, and wrote a book designed to help people solve their own problem. 


It’s, like what they said, always the darkest before dawn.


The thing is, we don’t even know if it’s already the darkest time or when the dark time will end. I find life is like throwing a dice where no matter how smart you are in counting probabilities of good lucks and bad lucks, reality might just prove you wrong.


This is a reminder for me, or anyone who needs. When good lucks strike, practice the gratitude over the small things and smile. Smile so hard that your jaw gets tired, laugh out loud to all silly jokes, crystallize every moment of contentment and keep it safe so that you could always look back at the good times you’ve left behind. While when the uninvited bad lucks come in to your house, don’t sweat over it. Welcome it with a sincere hug and never let it slips away without any lessons learned. Never let anything go unexamined because according to Socrates, unexamined life is not worth living. You can’t deny damages just like you can’t deny blessings.


People tend to look away and throw away damages just like garbage, but there’s a simple way to deal with it: recycle. Damages that rooted from discrepancy between expectation & reality, pang of jealousy, abundant disappointment, and harsh obstacles of pastime. It all never goes to waste. It turned into a catalyst in which you could grow up faster than what you could imagine.


By being damaged, you would discover your true self. You will find out “Oh this is what I want, this is what I’m passionate about.” or “Oh this is the thing that’d hurt me most. I don’t wanna do that anymore.” Also, by dwelling the damages, you learn to what extent you differentiate between the things you could change and the things you couldn’t.


Sometimes you want to be aloof, sometimes you don’t. Sometimes you want to talk to endless pages, sometimes you want to talk to a crowd. Sometimes you want to spend the night working hard or just sleep 12 hours straight. Sometimes you could speak like a president, sometimes you ought to swallow all the words and leave it unspoken. Sometimes you should stand up for yourself no matter what, sometimes you need to be selfless. Sometimes you need to break down your walls so you could say yes, sometimes you could just use the weapon no underneath your tongue. It took years for me to realize that the guy who said no pain no gain was a genius. Because you know, who wants pain?


Behind all the bruises and pain there lies an unbeatable armor you could use.


You just need to open your eyes.







Rezeki Itu Punya Banyak Nama



Kalau dipikir-pikir umur 20 itu kumpulan hal-hal pertama buatku pribadi. Pertama kali keluar dari zona nyaman ketika K2N, tinggal di masyarakat dan mulai mengerti bahwa sangat tidak gampang mengubah sesuatu. Pertama kali memberanikan diri hidup sedinamis itu yang akhirnya membuatku bisa berkenalan dengan banyak orang baru. Pertama kali belajar kerja sambil kuliah. Pertama kali mencoba untuk sedikit demi sedikit jadi idealis yang pragmatis.


Ada banyak sekali hal yang dulu aku sebut dalam doa. Setiap kali aku berdoa untuk ego aku sendiri, kepentingan aku sendiri, itu hampir gak pernah dikabulkan. Tapi ketika hal yang aku inginkan dalam doa itu sesuatu yang meringankan beban orang tua aku, membuat aku jadi lebih dewasa, atau mengajarkan aku untuk bersyukur atas hal-hal kecil, semua itu dengan mudah dikabulkan. Dan karena itu Allah mempermudah jalan aku untuk tidak berkutat dengan hal-hal yang tidak perlu dan tidak substansial.


Di umur ini aku belajar bahwa semua pujian dan kritik itu ujian. Pencapaian dan kegagalan itu ujian. Jadi, namanya berkah terbesar itu bukan uang, pamor, atau hal materiil lainnya, tapi kesempatan kita untuk belajar apa pun yang terjadi.


Aku belajar ternyata aku selalu bisa keluar dari jeratan masalah dan kerumitan pikiranku sendiri. Bahwa ternyata hidup selalu memulangkan cahayanya. Kalau kita jatuh ke jurang, ya tanamlah bunga di sana. Kalau kita dibuang ke laut oleh seseorang, ya jadilah penyelam yang baik. Kalau kita dibuat kesakitan, ya ciptakan keindahan dari hal paling sedih sekalipun. Kalau kita gagal, ya izinkanlah diri kita gagal karena bukti, bukan karena keraguan kita sendiri.


Aku pikir rezeki aku tahun ini banyak sekali. Allah gak ngasih hadiah yang sifatnya jangka pendek. Tapi semua kemudahan yang sifatnya jangka panjang tiba-tiba hadir tanpa diduga-duga. Bahkan termasuk hal-hal yang tidak pernah aku minta.


Rezeki itu punya banyak nama. Mulai dari keberhasilan kamu melakukan hal yang kamu pikir gak bisa, kesempatan bertemu orang-orang hebat, saat kamu bisa melawan keraguan kamu sendiri, atau sewaktu kamu berhasil melihat situasi tersulit dan perasaan paling kacau sekalipun sebagai peluang untuk berkembang.


Rasa sakit, duka, tidak suka terhadap sesuatu dalam hidup itu manusiawi. Menangislah kalau kamu ingin menangis. Marahlah pada yang tidak memanusiakanmu. Bertanya-tanyalah tentang hal yang tak pernah selesai. Semuanya terserah kamu.


Tapi benci dan lari itu bukan pilihan. Benci dan lari hanya pilihan orang-orang yang kalah dan tidak cukup pandai menemukan celah keputusan yang baik.


Padahal kebaikan adalah hal mutlak yang harus selalu diperjuangkan. Selalu ada cara yang baik untuk menyelesaikan segala sesuatu. Selalu ada alasan untuk baik terhadap hal-hal, peristiwa, dan orang-orang yang keji.


Dan saat kita diberi kesempatan untuk belajar memperjuangkan kebaikan di atas itu semua,


itulah rezeki yang paling besar.






Adil Sejak dalam Pikiran



Tulisan ini terinspirasi dari perkataan Pramoedya Ananta Toer, ia mengatakan


"Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan"


Kalimat ini memiliki arti yang sangat mendalam, jika saja banyak masyarakat kita yang memahami ini, akan sangat banyak keadilan yang dapat ditegakkan. Hal itu yang kita inginkan, bukan?


Konsep ini menjadi dasar, karena tentu, ketika seseorang sudah memiliki integritas sejak dalam pikirannya, maka tindak tanduknya yang akan menjadi cerminan dirinya, begitu juga sebaliknya bila sejak dalam pikiran sudah tidak berintegritas. 


Mari kita bersama pahami, apa yang dimaksud dengan adil sejak dalam pikiran. Adil dalam pikiran berarti konsisten (ISTIQAMAH) dalam konteks, konsisten dalam keputusan. Apa yang dibuat konsisten? Logikanya. Seorang yang adil, harus  bisa memilih apa yang benar, bukan yang disuka, dan menolak apa yang salah, bukan apa yang tidak disuka. Paham perbedaannya?


Contohnya seperti ini, seorang mahasiswa mengetahui dan menyepakati bahwa batas terlambat dalam perkuliahan adalah 15 menit. Ada atau tanpa dosen, tahu atau tidak diketahui, ketika ia sadar bahwa ia sudah telat, maka di dalam pikirannya tidak perlu muncul cara agar ia bisa tetap mengisi presensi, dia sadar bahwa dia telat, dan itu berarti ia absen (tidak hadir dalam pendataan).


Contoh yang lebih kompleks, kita memahami bahwa berpikir kritis adalah hal yang penting, dan misalkan kita adalah orang yang membenci agama, ras, atau golongan tertentu. Ketika ada informasi negatif pada kelompok tersebut, seharusnya kita sadar bahwa berpikir kritis tetap harus dijunjung, kita tetap harus mencari informasi dari sumber lain, berusaha seimbang dalam mencari argumen. Bila mengaku individu yang sangat rasional, maka adil sejak dalam pikiran adalah hal paling mendasar.


Masalah muncul ketika si Mahasiswa tetap mengisi presensi padahal telat, karena dosen tidak mengetahui. Masalah lainnya ketika seseorang terus membenci kelompok tertentu tanpa mencari informasi yang seimbang. Dan masalah di setiap lini kehidupan jika kita tidak belajar untuk adil sejak dalam pikiran. 


Saya mengagumi konsep berpikir kritis, mencari kebenaran, berusaha terus skeptis. Tetapi sayang, banyak individu yang hanya menggunakannya untuk orang lain, tetapi lupa untuk mengkritisi pikirannya sendiri. Banyak dari kita yang menuntut keadilan, tetapi lupa untuk adil sejak dalam pikiran.


Bila mengubah dunia terasa begitu sulit, ubahlah negara, bila masih sulit ubahlah kota, bila masih terasa sulit ubahlah diri kita sendiri.






Lingkungan Pembentuk Kompetensi


Menjadi pribadi yang lebih baik, tentulah diinginkan oleh semua manusia yang memiliki akal sehat, mulai dari membaca buku hingga mengikuti berbagai macam seminar, namun ada fenomena yang menarik terkait self development.


Sebagian orang (kita sebut orang A) begitu semangat untuk mengembangkan dirinya, ia berani mencoba hal baru dan menganggap masalah sebagai sesuatu yang memberikan pelajaran yang berharga, ia suka membaca atau mengikuti seminar. Ada juga orang yang hidup hanya mengikuti arus, ia sadar bahwa kualitas diri itu penting namun tidak berupaya untuk memilikinya (kita sebut orang B).


Apa yang sebenarnya terjadi dengan orang A? Sebenarnya sederhana, mereka tumbuh dibantu dengan pengalaman, sebagaimana kita tahu pengalaman adalah guru yang terbaik, pengalaman mengajar dengan keras namun ilmunya begitu membekas, lalu bagaimana mereka bisa mendapatkan banyak pengalaman yang menghebatkan? Pola pikir! Ya, pola pikirnya membuat ia tertantang dalam mencoba sesuatu, membuatnya selalu ingin tumbuh dari tiap permasalahan yang ada, dan membuatnya percaya diri bahwa ia bisa melakukan yang lebih baik dan lebih baik lagi.


Apa yang membentuk pola pikir seseorang? Lingkungan menjadi faktor yang paling kuat.


Lalu apa yang terjadi oleh orang B? Kita katakan bahwa mereka adalah orang-orang 'kotak korek api', percobaannya sederhana, coba anda masukkan seekor kutu anjing kedalam sebuah kotak korek api, biarkan ia berada di dalamnya selama kurang lebih 14 hari (dengan makanan berada di dalam). Percaya atau tidak, setelah anda lepaskan kutu tersebut, ia hanya mampu melompat tidak lebih tinggi dari tinggi kotak korek api, padahal sebelumnya ia mampu melompat lebih dari 200x tinggi badannya.


Atau contoh lainnya adalah gajah-gajah pekerja. Ketika awal ditangkap, gajah-gajah pekerja ini diikit dengan rantai besi yang sangat kuat, sehingga upaya yang ia lakukan tidak membuat dirinya bisa lepas. Setelah sekian lama gajah-gajah tersebut diperlakukan seperti itu, mulailah si pemilik menggantinya hanya dengan seutas tali tambang. Namun yang menarik, setelah diganti dengan tali, gajah-gajah ini tidak lagi berusaha untuk melepaskan dirinya. Kisah kutu dan gajah ini dalam psikologi disebut learned helplessness. Yang artinya, mereka tidak lagi merasakan adanya hubungan yang positif antara upaya yang dilakukan dengan hasil yang didapatkan.


Inilah efek lingkungan yang membentuk kompetensi. Banyak dari kita yang tinggal di lingkungan yang mengecilkan kita, berisi orang orang yang berpikiran pesimis, dan hanya bisa mengeluh, maka kemudian pemikiran kita ikut terbawa, dan melebur menjadi bagian dari lingkungan tersebut.

Kita membaca buku, kita mengikuti seminar, namun pemikiran kita menahan potensi kita, kita masih berpikir 'apakah saya bisa menjadi lebih baik?' 'Apakah saya bisa melakukan hal ini?' Sehingga kemudian ilmu yang didapatkan tidak diaplikasikan, padahal pengembangan diri adalah aplikasi, bukan sekadar teori.


Lalu bagaimana dengan lingkunganmu?


Maka berhati-hatilah dalam memilih sahabat, berteman dengan siapa saja, namun bersahabatlah dengan mereka yang mampu membuatmu lebih baik, sehingga perlahan pola pikirmu akan ikut menjadi lebih baik, dan akhirnya membuat dirimu mampu berkembang dengan lebih baik.


Kecerobohan dalam memilih, akan membuat kita berada pada kesengsaraan, kebijaksanaan dalam memilih, akan membuat kita hidup dalam kebahagiaan.


Friday, July 21, 2017

[SELF HELP] Greatest Blessing



Complete series of Self Helps :
3. [SELF HELP] Greatest Blessing


-------------------------------------------------------------------------------------------

I’m 22.

I have Allah. I have Rasulullah. I have such a great big family. I have that companions who I always count on. For now I’m perfectly healthy. My soul is on its peak, very much stable than years before. It gets hard sometimes but it doesn’t let me drown in negativity for long. It always try to heal me unconsciously.  My life was, is, and will always be the greatest story I’ve ever known. It’s not that I’m surrounded by all those pleasant things. Calamity took its place too. But without their perfect collaboration which are followed by His Mercy and Guidance, I won’t be me who I am today and it’s hard to think the other possibility. It’s hard to think about the other me.

And such a greatest story, wouldn’t be the way it is without the hands, touches, affection, and dua of our perfect mother. When people say that mother is our true angel, I’m now thoroughly understand that it’s never been a lie. She’s always there, standing in between, takes place between us and God which no one can replace.

Then, will I still mumble when everything went wrong?

Nope, as long as I still have Allah and that standing-in-between angel called Mom, that’s really an inapproriate thing to do.