“Hoi!”
Bang Egi seperti biasa, muncul
tiba-tiba dengan segelas besar lemon tea
sambil menjitak (agak) keras kepalaku. Aku tak menggubris. Anak itu sudah biasa
diabaikan.
“Lagi bikin apa?”
Aku malas menjawab. “Coba tengok
aku lagi ngetik apa.”
“Hmmm. Udah beres rumus
sampelnya?”
“Aku jadinya total sampling,
bang!” Kataku sambil memelas. Kemudian baru saja teringat kalau aku belum
mengabarinya sama sekali mengenai ini.
“Demi apa, dek??? Lima ratus loh
itu! Dikali dua jadi seribu! Mampus lah kamu, dek!”
Aku menampuk kepalanya dengan
bantal sofa, sangat keras. Bang Egi hanya tertawa, iya tertawa. Sangat keras.
Terdengar sangat puas. Aku mendengus.
“Emang ga boleh pake rumus, ya?”
“Demi keamanan seisi bumi dan
langit lebih baik aku total sampling bang. Macam abang lupa aja penguji aku
siapa.”
Bang Egi menyeruput lemon tea nya
hingga tinggal separuh gelas.
“Padahal aku udah banyak tanya
sama kawan aku bang. Udah ngerecokin dia sering-sering buat nanyain rumus ini itu.”
“Sama kawanmu yang kuliah
statistik itu?”
Aku mengangguk. Menekan tanda
silang diujung kanan layar. Menampilkan wallpaper dengan foto aktor yang
menurut mataku parasnya terindah sedunia, Kento Yamazaki. Baiklah. Aku terbuai. Terbuai wajahnya yang mashaAllah tampan. Pandanganku jatuh sekilas di kalender. Dan
kemudian terhening.
“BANG! Mampuslah aku! Kawan aku
ni besok ulang tahun! Dua jam lagi udah ganti hari bang! Aku belum siapin
apa-apa!”
Ternyata aku lupa. Aku lupa
bahwa bang Egi sedang khusyuk bersama lemon tea-nya saat aku menepuk pundaknya
keras dan ia terjungkal ke depan. Tumpahlah sekian persen isi lemon tea tersebut ke lantai. Mampus. Bang Egi si maniak lemon tea bakal geram besar sama aku.
“He-he-he-he. Maaf lah bang! Aku
kaget beneran tadi. Coba kasih aku inspirasi mau ngapain bang. Nulis ‘selamat
ulang tahuunn!! Semoga gini semoga gitu’ udah pernah bang. Nulis yang
puitis-puitis gitu juga dah pernah bang. Aku mau edit foto terus di collage
cantik-cantik, tapi kok rasanya kurang greget gitu ya bang. Karena menurut aku
hadiah terbaik itu tetap tulisan dari hati bang!”
Bang Egi menatapku,
geleng-geleng, sambil melap serakan lemon tea di tempat kejadian perkara yang
aku ciptakan. “Coba kamu bikin cerpen tentang dia. Daripada bikin cerpen isinya
baper mulu pengen nikah.”
“Cerpen? Kayak mana lah
ceritanya itu bang? Aku bikin dia jadi pemeran utamanya? Nanti ujung-ujungnya
cinta-cintaan juga bang!”
“Dasar kepala jones! . Bikin
kek tentang pertemuan dulu kalian kayak apa, apa pengaruh terbesar yang dia
ciptakan sehingga kamu jadi alay kayak gini, atau kebaikan-kebaikan dia yang
gak mungkin kamu lupain, atau apa kek gitu. Makanya kamu itu sekali-kali
belajar dari keromantisan abang sama kak Dina.”
Aku memeletkan lidah kearahnya. “Dia teman SMA aku bang. Tiga tahun aku sekelas sama dia. Pendiam gitu dia
awalnya bang, eh ternyata aku salah kira. Ternyata dia bisa banyak ngomong
juga. Oh iya, aku ingat! Dulu waktu kami kelas dua, ada acara kelas di
lapangan, dia duduk paling belakang dekat pohon-pohon. Tiba-tiba ada ulat besar
hinggap di jilbabnya bang!”
“Kamu tu kayaknya gak ada memori
buat nginget yang bagusan dikit ya! Yang diinget yang jelek mulu.”
“Abis nyeremin banget bang.
Ulatnya gede parah, keliatan berat gitu. Hiii.” Aku bergidik sendiri. Aku melanjutkan.
“Terus apa lagi ya? Banyak bang!
Kami sering cerita-cerita. Dia itu tipikal yang suka di bully gitu tapi
dia baik hati macam malaikat, siang malam sama abang. Oh iya! Waktu kami
liqoq terakhir, dia juga jatuh dari ojek bang! Kakinya kalau gak salah memar.
Terkilir apa ndak ya? Lupa aku. Pokoknya kami panik banget waktu itu bang.”
“O iya? Terus langsung dibawa ke
RS waktu itu?”
“Nggak bang. Karna rasanya waktu
itu yang nampak memarnya aja. Jadi diobatin sementara sama kakak mentor
kami. Terus abis itu lanjut ke Malibo Anai. Kami tukaran kado. Waktu itu
aku nyiapin kado boneka Winnie The Pooh karena berharap yang dapat Nadya ini
bang. Dia gilak kali sama Winnie The Pooh”
Bang Egi mendengar dengan
seksama --Kejadian langka dengan
prevalensi 5%-- “Terus gimana? Jadi dia yang dapat?”
“Nah itulah bang! Ndak rezeki
dia sayangnya. Winnie The Pooh-nya jatuh ke tangan kakak mentor aku.”
“Hmm. Kasian ya.”
“Padahal dia lulus loh bang di
FK Unand. Tapi dia ambil di STIS jadinya. Tau ndak bang, senang kali aku bang
waktu tau dia lulus FK Unand tu. Dapat kawan aku. Eh, kiranya ndak jadi. Sedih
kali aku bang.”
“Tapi kalau dia ndak di STIS,
ndak bisa dia bantuin skripsi kamu kan? Ambil hikmahnya aja.”
“Iya juga ya bang.”
“Kalau dia di FK Unand, kamu ga
bakal tau rasanya kangen sama teman itu seperti apa. Terkadang jarak bisa
membuat kita paham apakah kita memang sedekat yang selama ini kita kira. Jarak
bisa buat kita paham apakah setelah berpisah ini, dia akan menjadi teman yang saat
jika kalian bertemu kembali, menjadi seseorang yang kamu tidak tahu harus
mengobrol apa, bikin kamu gugup serasa bertemu teman baru, atau justru kamu
akan berbicara seperti dulu yang biasa kalian lakukan. Yaah, kamu pasti ngerti
maksud abang, kan?”
“Tumben isi otak abang agak
lumayan hari ini.” Aku memujinya, setengah hati. Separuh membenarkan. Separuh
berjaga-jaga kalau narsisnya jadi akut.
Bang Egi hanya diam. Waw, tidak sesuai ekspektasi. Baiklah,
aku lanjutkan.
“Aku ketemu dia tahun lalu bang. Waktu aku tahun tiga, kalau gak
salah. Kami masih ngobrol panjang lebar seperti biasanya bang! Malahan rasanya
lebih heboh dari sebelum-sebelumnya. Kami pergi makan es krim mahal, pergi
karaoke, kemana lagi ya? Banyak lah. Bahkan kami saling curhat-curhatan tentang akang imam masa depan! Dia ceritain kawan kampusnya. Aku juga ceritain
cemceman aku. Benar juga kata abang, perasaan bertemu teman dekat yang udah
lama gak ketemu itu luar biasa bahagianya bang. Duh, kangen aku jadinya sama
dia!”
“Atau kalau kamu ndak bisa bikin
cerpen, coba kirim voice note. Nyanyi selamat ulang tahun. Atau telpon dia.”
“Aku juga kepikiran itu tadi bang,
tapi aku itu ada tendensi low self esteem gitu. Malu aku dengar suara sendiri di rekaman.”
Bang Egi tertawa mengejek. “Cempreng
sih. Wajar malu.”
Aku menjitak kepalanya tanpa
ragu-ragu. Bukankah hubungan antar saudara itu memang penuh akan kekerasan fisik?
“Kamu mau tau apa hadiah yang
paling dahsyat?” Tiba-tiba bang Egi terlihat lebih serius.
“Apa emangnya?”
“Doa. Diam-diam. Hanya kamu dan
Dia yang tahu isi doamu untuk dia. Kalau mau lebih mustajab, di sepertiga malam
terakhir di tanggal ulang tahun dia. Kamu doakan apapun yang terbaik yang kamu
harapkan untuk dia. Karena wishes-wishes yang 'tertuliskan' kadang hanya
serangkaian kata formalitas. Belum pasti sepenuhnya dari hati.”
Bang Egi berkata bijak. Ini kejadian langka. Aku bertepuk tangan demi
mengapresiasinya.
“Itu yang abang lakukan tiap kak
Dina ulang tahun ya? Yang abang bilang romantis itu?”
“Oh, jelas!” Bang Egi mengangguk
mantap, pongah.
“Okelah. Setengah jam lagi udah
jam 00.00. Aku ke kamar dulu bang, siapa tau dapat inspirasi hadiah lain,
selain ‘doa romantis di sepertiga malam terakhir di hari ulang tahun dia’ ala
abang itu.”
“Nanti kalau ke suami kamu
hadiahnya harus beribu kali lebih romantis ya dek!”
Aku mendecak bangga. “Oh, jelas!
Sejuta kali lebih romantis dari yang abang lakukan ke kak Dina!”
_____________________________________________________________________________
Ps :
to one of the best people in my years, Nadya El Khair.
Happy 21 y.o! (Dec 6th 2016)
Doanya rahasia :D
0 comments:
Post a Comment