Sunday, July 21, 2019

[DAILY LIFE] 24 y.o and What I've Learned




1. Apa sih yang dicari?

Pertama dan utama sekali mari kita bersyukur mengucap Alhamdulillah karena dunia ini tidak selamanya kekal. Semua hingar bingar, ketamakan, ketidaksetaraan beserta derivatnya ini hanya sementara. Bahkan dunia dan seisinya ini pun ga lebih berharga dari sebelah sayap nyamuk.

Dunya is worth-less. Akhirah is price-less.

Jadi, sebenarnya apa sih yang dicari?

Kita sama-sama manusia. Sama-sama numpang tinggal di bumi. Sama-sama diuji. Sama-sama sementara. Dramanya aja yang berbeda. Ada yang dikasi hiasan berlebih. Rezekinya melimpah, rumahnya megah, anak-anaknya gagah. Ada juga yang hidupnya monokrom. Bisa bernapas dan makan 3x sehari aja udah syukur. Dan ternyata membandingkan drama hidup sendiri dengan drama hidup orang lain itu memang gak pas, karena ya memang naskahnya beda. 

But you know what? 'Kesenjangan' itu, that's okay. Itu sah-sah saja. Namanya juga dunia.

Toh ujung-ujungnya sama-sama kembali ke tanah.

Jadi, sebenarnya apa sih yang dicari?

Tiap hari banting tulang, dan banting emosi. Entah itu bekerja, entah itu belajar, entah apapun itu namanya. Setinggi-tingginya pendidikan adalah menjadi profesor. Setinggi-tingginya perkerjaan mungkin menjadi CEO atau founder (?). Dan sayangnya ga semua orang dikasi kesempatan atau bahkan punya keinginan buat sampai di titik itu.

But you know what? That's okay. Itu sah-sah saja.

Jadi, sebenarnya apa sih yang dicari?

Jangan berani sebut "pengakuan sosial", atau istilah lainnya "pencitraan", atau kasarnya lagi "pujian orang lain". Sama-sama numpang kok saling ngebandingin drama masing-masing. Lagipula itu drama kan yang bikin Tuhan. Mau nge compare cerita bikinan Tuhan?

Jadi, sebenarnya apa sih yang dicari?


2. It's already that hard to be just kind.

Sama-sama punya beban. Sama-sama puyeng. Intensitas dan ruang penerimaannya aja yang beda. Jadi gausah ngeluh.
Positivity dan negativity itu sama-sama kuat. Sama-sama contagious. Kamu mau nularin yg mana?

Sebaik-baik manusia adalah manusia yang bermanfaat bagi manusia lainnya. Yang saling menguatkan, saling membantu untuk mencapai tujuan masing-masing.

Jadi orang baik itu 'kayaknya' gak gampang. Harus diusahakan. Dan dipertahankan.


3. Harus 'kuat' dulu, baru bisa nolong orang lain.

Pasti kalian pernah tahu tentang cerita sahabat Rasulullah yang dulu wafat kehausan di padang pasir. Kalo ga salah, kisahnya tu begini. Setelah mereka menunggu lama, akhirnya datang bantuan seteguk air. Sahabat pertama menolak, katanya berikan saja ke sahabat yang lain. Sahabat kedua pun begitu, dan seterusnya. Pada akhirnya mereka menolak dan tidak ada yang meminum air tersebut, dan mereka semua berakhir meninggal kehausan.

Pernah terpikir aja, bagaimana jika yang terjadi sebaliknya? Bukan maksud untuk menyalahkan kesetiakawanan para Sahabat, tapi andai kata ada satuu aja yang meminum air saat itu, apakah jalan ceritanya akan berbeda?

Gampangnya gini. Di pesawat selalu di edukasi kalau terjadi apa-apa, masker oksigen bakal turun dan kita disuruh make masker kita sendiri dulu baru abis itu nolong orang lain, nolong yang disebelah kita.

Menolong itu butuh power, butuh kekuatan. Andaikata jalan ceritanya berbeda, andaikata ada satu saja dari mereka yang meminum air tersebut dan kemudian beliau mendapat energi dan punya kemampuan untuk bergerak dan mencarikan pertolongan untuk sahabat-sahabatnya yang lain, mungkin akhir ceritanya bisa berbeda. Mungkin.

Kalau kita ga punya kekuatan, zero power, maka kita masih punya satu hal yang bisa diandalkan, nurani. 'Seminimal-minimalnya' kekuatan adalah doa. 

Allah selalu bilang ikhtiar itu punya dua komponen kan: usaha yang dibarengi dengan doa.

Singkatnya, harus ada yang 'kelebihan' supaya dia dapat menetralisir yang punya 'kekurangan'. Harus ada yang berilmu supaya dia bisa mengedukasi mereka yang kurang ilmunya. Harus ada yang sehat agar dapat membantu yang sakit. Sederhana aja, simbiosis mutualisme. Yang kekurangan jadi bahagia karna terbantu, yang kelebihan jadi bahagia karna membuat orang lain bahagia.

*kecuali jiwanya cacat, seret liat orang lain senang, itu beda cerita.

4. Life is choices over choices

(Nomor 4 ini terinspirasi dari videonya Gitasav dan mba Suhay Salim, jadi gaya bahasanya agak beda ya).

Hidup itu repetitif, berulang kali kita dihadapkan dengan pilihan-pilihan yang harus diputuskan, choices over choices, mild to a heavy one, dari masalah mau makan apa sampe masalah mau nikah ama siapa, dan lo musti paham dengan setiap pro dan cons dari keputusan yang lo ambil, musti agreed dengan terms & conditionsnya, karna setiap keputusan itu ada untungnya dan ada resiko terburuknya, jadi apapun yg terjadi ya balikin lagi ke diri lo.

Misalnya lo memutuskan utk makan pedes, ya lo musti terima kalo nanti ada kemungkinan lo bisa mencret. Atau misalnya nanti lo memutuskan buat menjalin hubungan ama seseorang. Sebagus apapun prospek kedepannya, bakal tetap ada risiko kan? Kalau suatu saat nanti kenapa-napa, ya jangan serta-merta nge-blame tu orang, it needs two people to build a relationship, lo yang memutuskan untuk menjalaninya, ya lo harus siap dengan segala konsekuensinya. 

0 comments:

Post a Comment